Kamis, 11 Oktober 2012

Penyusunan Juknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama Katolik

Direktur Urusan Agama Katolik, Fransiskus Endang, mewakili Dirjen Bimas Katolik menyampaikan sambutan dan membuka secara resmi pertemuan Penyusunan/ Penyempurnaan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama Katolik dan Angka kreditnya di Bogor (10/10).

Fransiskus Endang mengharapkan bahwa naskah juknis pelaksanaan jabatan fungsional Penyuluh Agama Katolik dan angka kreditnya yang menjadi hasil akhir dari pertemuan ini benar-benar dapat menjadi pedoman yang berguna dalam meningkatkan kualitas pelayanan penyuluh.

Untuk itu, tegasnya, peserta yang dipercaya ikut menyusun ini harus benar-benar memperatikan regulasi yang berlaku terkait denganpenyuluh agama Katolik.

Kegiatan penyusunan tersebut dilaksanakan panitia dan peserta Bimas Katolik pusat ditambah satu orang penyuluh agama Katolik kanwil DKI Jakarta.

Pada kesempatan tersebut, Direktur Urusan Agama Katolik didampingi Direktur Pendidikan Agama Katolik, SP Simbolon seperti dalam foto.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 03 Oktober 2012

Penyuluh Agama Katolik: Mitra Gereja dan Negara


Jabatan Penyuluh Agama Katolik sepertinya baru beberapa tahun ini kedengaran di kalangan masyarakat. Apa dan bagaimana peran serta fungsi dari Penyuluh Agama Katolik sepertinya belum diketahui dengan baik oleh masyarakat. Selama puluhan tahun yang dikenal masyarakat mengenai penyuluh adalah penyuluh pertanian, dan penyuluh KB (Keluarga Berencana).

Pembakuan istilah Penyuluh Agama Katolik dan pengangkatan mereka dalam jabatan fungsional makin mempertegas eksistensi dan identitas para penyuluh agama di tengah masyarakat, serta untuk mempertajam tugas dan fungsi yang dijalankan. Sebagaimana dalam Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 5 4/KEP/MK.WASPAN/9/1999 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya, disebutkan bahwa tugas pokok penyuluh agama adalah melakukan dan mengembangkan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama. Maka, peranan penyuluh agama, salah satunya adalah Penyuluh Agama Katolik dalam melaksanakan bimbingan tugas operasional Departemen Agama sangatlah penting dan strategis, karena tugas tersebut, tidak hanya melaksanakan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat, tetapi juga memberikan penerangan dan motivasi terhadap pelaksanaan program-program pembangunan melalui pendekatan keagamaan dengan bahasa agama.

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama menjadi salah satu tombak, dan Penyuluh Agama Katolik adalah ujung tombak yang berperan penting dalam upaya membimbing umat katolik memahami ajarun agana dan mengamalkannya seaara berkualitas. Keberhasilan seorang Penyuluh Agama Katolik di tengah-tengah umat dipengaruhi oleh beberapa elemen terkait seperti pengembangan kerja sama dan koordinasi yang baik dengan Gereja, para imam/kaum religius, dewan pastoral paroki/stasi, umat, serta perangkat masyarakat lainnya. Kemajemukan masyarakat lndonesia khususnya umat katolik yang ada di berbagai keuskupan di Indonesia sangat beragam, yakni terdiri dari berbagai suku, ras, tradisi, bahasa, dan status sosial ekonomi yang berbeda satu sama lain. Melihat kondisi semacam ini. Penyuluh Agama Katolik harus menyusun strategi yang tepat agar tercapai tujuan yang diharapkan.

Untuk menunjang tugas itu pemerintah telah mengeluarkan Keppres Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil yang antara lain menetapkan bahwa penyuluh agama adalah jabatan fungsional pegawai negeri yang termasuk dalam rumpun keagamaa. Sedangkan strategi pelaksanaan penyuluhan mencakup semua langkah yang tepat dalam melaksanakan tugas penyuluhan, menentukan sasaran penyuluhan, menggunakan metode penyuluhan yang tepat dengan keadaan dan kondisi sasaran. Yang dimaksud dengan penyuluh agama negara adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan keagamaan dan penyuluhan pembangunan melalui bahasa agama. Masing-masing penyuluh agama negara ini berada dalam strukur organisasi Kementerian Agama Republik Indonesia Begitu pula dengan Penyuluh Agama Katolik yang berada dalam naungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Ditjen Bimas) Katolik Kementerian Agama RI. Sementara itu, yang menjadi Pembimbing Masyarakat Katolik Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Utara (Pembimas Katolik Kanwil Depag Provsu) adalah Dra. Yulia Sinurat, M.Pd.

Berikut ini Penyuluh Agama Katolik/Katekis sejajaran Bimas Katolik Kanwil Kemenag Provsu di KAM yang berkarya di wilayah kerja/paroki :
1. Abdon Manalu, S.Ag Kabupaten
Serdang B edagai, Tebingtinggi

2. Asil Karo-karo, S.Pd Kota Medan, Medan

3. Alisben Nababan Kabupaten Tapanuli Utara, Tarutung

4. Agustina Sibagariang, Dra. M.Pd Kota Binjai,Binjai

5. Antonius Manullang, S.Ag KabupatenNias, Grurungsitoli

6. Batu Tarigan, S.Ag Kabupaten Karo, Kabanjahe

7. Bisler Simatrpang, S.Ag Kabupaten Pakpak Bharat, Sidikalang

8. Budiman Situmorang Kota Medan, Medan

9. Eduardus B. Sihaloho, S.Ag Kota Tanjungbalai, Tanjungbalai

10. Eus Takues Galis Embu, S.Ag Kota Tebingtinggi, Tebingtinggi

11. F. Sudarianto, S.Ag Kabupaten Tapanuli Utara, Tarutung

12. HotmanManalu, S.Ag, M.Pd Kabupaten Deli Serdang Delitua

13. Malam Ginting Kabupaten Asahan, Kisaran

14. Mayam Kabupaten Karo, Kabanjahe

15. Marihuttua Pasaribu, S.Ag Kota Pematangsiantar, Pematangsiantar

16. Marningot Marbun Kabupaten HUMBAIIAS, Dolok Sanggul

17. Plasidus Papi, S.Ag Kabupaten Samosir, Pangururan

18. Rositta Pae Kabrryaten Tapanuli Utara,Tarutung

19- Santanaria SPd, Kota Pematang iantar, Pematangsiantar
20. Sorang Tumanggor, Sag Kabupaten Dairi, Sidikalang

21. Tetty Rosanti Situmorang Kota Sibolga Sibolga

22. Tri Sujarwadi, S.S Kabupaten Deli Serdang, Tanjung Selamat

23. Tulozomasi Hulu S.Ag Kota Medan, Medan

24. Johanes Bohalima S.Ag Kabupaten Nias, Gunung Sitoli

Penyuluh Agama Katolik dilihat dari jabatan fungsionalnya berbeda dengan pejabat dan pegawai kantor serta guru agama, meskipun berada di bawah naungan Ditjen Bimas Katolik Kemenag RI. Misalnya untuk guru agama katolik hanya terfokus pada anak-anak didik di sekolah, sementara Penyuluh Agama Katolik memainkan peran di dua wilayah yakni umat beriman yang secara teritorial dan kategorial berada dalam wilayah domain pimpinan Gereja. Penyuluh Agama Katolik melakukan penyuluhan di beberapa kelompok binaan seperti masyarakat pedesaan, masyarakat perkotaan, kelompok pemerintah, Orang Muda Katolik, Lembaga Pendidikan Masyarakat seperti komuni pertama, WKRI, BIA, untuk binaan khusus seperti pondok sosial, panti rehabilitasi, pekerja seks komersial, lembaga pemasyarakatan, dan di masyarakat daerah terpencil maupun suku terasing, dan masih banyak lagi.

Jika berbicara mengenai tunjangan jabatan fungsional Penyuluh Agama Katolik, ditetapkan dalam Peraturan Presiden RI No.43 Tahun 2006, dalam Pasal 2 dikatakan bahwa kepada Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam Jabatan Fungsional Penyuluh Agama, diberikan tunjangan Penyuluh Agama setiap bulan, yang sesuai dengan beban kerja dan tanggung jawab pekerjaannya. Keberadaan Penyuluh Agama Katolik memiliki makna yang penting dalm mengkomunikasikan ajaran agama dan progam-program pembangunan dengan bahasa agama kepada masyarakat. Keberadaan Penyuluh Agama Katolik mempunyai arti penting serta turut berperan dalam membangun karakter umat. Walau bertugas melayani masyarakat, khususnya umat katolik, para PenyuluhAgama Katolik ini tidak bisa bekerja sendiri, tapi harus bekerja sama dengan Gereja.

Peranan Penyuluh Agama Katolik dalam pembangunan sebagai pelopor dan motivator, melalui usaha memberikan penerangan, pengertian, tentang maksud dan tujuan pembangunan, mengajak serta menggerakkannya untuk ikut serta aktif mensukseskan pembangunan. Terlebih, pada pembangunan dewasa ini, beban tugas Penyuluh Agama Katolik lebih ditingkatkan lagi dengan usaha menjabarkan segala aspek pembangunan melalui pintu dan bahasa agama. Peran dan posisi Penyuluh Agama Katolik adalah untuk melanggengkan tugas kemitraan yang telah dibangun antara Gereja dan Negara RI. Sementara tugas dan tanggung jawab khusus untuk melanggengkan tugas kemitraan dijalankan oleh Bimbingan Masyarakat Katolik (Bimas Katolik) dalam domain Kementerian Agama RI.

Sumber: (EE dari berbagai sumber) - MENJEMAAT,No. 10/XXXIII/Oktober 2011


Senin, 30 Juli 2012

Menuju Profesionalitas Penyuluh



Pendahuluan

Pada tataran Pembangunan Nasional: Pembangunan nasional memerlukan partisipasi aktif pelaku-pelaku pembangunan, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam pembanguanan dapat dipercepat melalui program-program penyuluhan pembangunan yang efektif dan handal. Untuk itu maka kegiatan pembangunan perlu dan harus ditangani oleh tenaga profesional dengan dukungan tenaga profesional di bidang penyuluhan pembangunan dengan dilandasi komitmen yang kuat dari berbagai pihak.
Dalam hal ini subtansi keahlian dan kesungguhan bergerak serta bertindak dari para pelaku pembangunan, para pelaku penyuluhan merupakan prasyarat utama.
Demikianpun halnya dengan Penyuluh Agama Katolik PNS. Tentu memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional.

Dasar Hukum
Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badang Kepegawaian  Negara No. 574 Tahun 1999 dan Nomor 178 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya

Siapa itu Penyuluh Agama Katolik
Penyuluh adalah PNS yang diberi tugas , tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berbewenang untuk melaksanakan bimbingan/penyuluhan Agama dan Pembangunan.

Apa Itu Penyuluhan?
Adalah suatu kegiatan bimbingan/penyuluhan dan pembangunan lewat bahasa agama untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional

Peran Strategis Penyuluh
Penyuluh memiliki peran yang sangat strategis. Peran penyuluh tidak hanya sebatas pada fungsi menyampaikan inovasi dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran penyuluhannya, akan tetapi harus mampu menjadi jembatan penghubung antara pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan masyarakat sasaran, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan pembangunan maupun untuk menyampaikan umpan balik atau tanggapan kepada pemerintah/lembaga penyuluhan yang bersangkutan.

Jadi Penyuluh haruslah dapat beperan sebagai pembimbing, organisator, dinamisator, pelatih, teknisi, dan jembatan penghubung antara masyarakat sasaran dan  lembaga yang diwakilinya.
Menurut Rogers (1983) penyuluh sebagai agen pengubah adalah seseorang yang atas nama pemerintah atau lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasasaran penyuluhan untuk mau dan mampu melakukan perubahan dengan mengadopsi suatu inovasi. Karena itu, seorang penyuluh seperti dikemukakan Mardikanto (1992) haruslah memiliki kualifikasi tertentu, baik yang menyangkut kepribadian, pengetahuan, sikap, dan keterampilan menyuluh yang professional.

Profesinalisme

Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu : profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi.
Bulle seperti dikutip Gilley Dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi asapek yaitu :
        a. Ilmu pengetahuan tertentu
        b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
        c. Berkaitan dengan kepentingan umum
Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi penyuluhan

Proses Profesional

Proses professional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatan status).
Secara teoritis menurut Gilley Dan Eggland (1989) pengertian profesional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.

Orientasi Filosofi

Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu:
pertama lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal.
Pendekatan kedua yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanaya.

Pendekatan ketiga : electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim, dan pemikiran akademis. Proses profesionalisasi dianggap merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil kesepakatan dan standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan lebih baik dari pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.

Orientasi Pengembangan
Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu:
a. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap profesi.
b. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
c. Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
d. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi
    tertentu.
e. Penetuan kode etik.
f. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan
    pengalaman di lapangan.

Orientasi Karakteristik:
Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, dengan yang lain saling terkait:
a. Kode etik
b. Pengetahuan yang terorganisir
c. Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
d. Tingkat pendidikan minimal
e. Sertifikat keahlian
f. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku  tugas dan tanggung jawab
g. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota
h. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek.

Orientasi non-tradisional
Prespekti pendekatan yang keempat yaitu prespektif non-tradisonal menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya termasuk pentingnya sertifikasi profesional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.

Revolusi Informasi dan Tantangan Penyuluhan

Hampir semua orang sependapat bahwa teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Sebagai teknologi, kedua sisi tersebut keberadaanya sangat tergantung pada pemakainya.

Adi Sasono ( 1999) mengidentifikasi beberapa pernyataan berikut yang bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya, karena apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal, yaitu :
Teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi disisi lain hirarki sosial yang ada dapat dipertahankan oleh teknologi dan bahkan diperkuat lagi.

Menurut Adi Sasono (1999) menambahkan revolusi teknologi informasi yang pesat telah mengaburkan batas-batas tradional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong permaknaan ulang perdagangan dan investasi.
Revolusi ini secar pasti merasuki semua aspek kehidupan, pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertaiment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola  roduksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.

Pada dasarnya, adanya teknologi informasi telah memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat,  mudah,terjangkau, dan memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat. Teknologi yang semacam ini harus  dimiliki oleh rakyat secara luas untuk dapat membantu rakyat mengorganisir diri secara modern dan efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat terbesar .

Dalam rangka meningkatkan profesionalisme penyuluhan, terjadinya revolusi teknologi informasi seperti diatas adalah sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang penyuluhan sebagai alat mencapai tujuannya.

Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh keilmuan penyuluhan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi penyuluhan di lapangan.
Peran program pendidikan yang mempersiapkan tenaga ahli penyuluhan , seperti perguruan tinggi, Pusdiklat dan lembaga pendidikan kemasyarakatan lainnya perlu mempersiapkan pelaku-pelaku penyuluhan yang mampu menyampaikan informasi pembangunan dan mampu memotivasi masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat, sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan masyarakat sasaran penyuluhan

Profesionalisme dalam Penyuluhan
Sistem penyuluhan seharusnya berorientasi pada kegiatan mendalami dan mengembangkan perubahan perilaku masyarakat dan merupakan proses pendidikan berkelanjutan yang dilakukan dengan cara persuasive atau membujuk.

Namun,  hingga saat ini tidak jarang berubah bentuk menjadi proses instruksi dengan cara paksaan. Hal ini terjadi karena kegiatan penyuluhan dilakukan dengan cara berorientasi pada kepentingan sektoral atau target pembangunan tertentu tanpa memikirkan kepentingan dan kesiapan khalayak dalam menerima berbagai tawaran perubahan tersebut.
Sistem penyuluhan yang berorientasi pada keterpaduan dengan mengutamakan kepentingan khalayak sasaran penyuluhan seharusnya dijadikan tolok ukur dalam merancang suatu program penyuluhan.

Dalam hal ini etika penyuluhan (kode etik) merupakan suatu hal yang perlu disepakati keberadaannya sehingga tidak semua orang atau semua pihak merasa mampu melakukan penyuluhan. Lewat etika penyuluhan sekaligus dapat dipertemukan berbagai kepentingan dengan beragam kepentingan khalayak sasaran penyuluhan.

Dengan demikian pendekatan pembangunan dari bawah (bottom-up) dan pendekatan pembangunan dari atas (top-down) dapat dan mau dipertemukan dalam suasana keakraban.
Oleh karenanya, kerjasama antara pelaku pembangunan dan pelaku penyuluhan harus saling terkait dan saling memerlukan

Kode etik penyuluhan akan berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Oleh karenanya kelembagaan profesionalisme  penyuluhanpun sangat diperlukan untuk menghindari penyuluhan yang terkotak-kotak karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan pembangunan sektoral.

Untuk itu, maka setiap penyuluh dan setiap kelembagaan penyuluhan tidak perlu harus memiliki sistem penyuluhan sendiri dengan khalayak sasaran penyuluhan yang juga tersendiri.
Dengan demikian maka tidak akan terjadi kebingungan khalayak sasaran penyuluhan dalam menerima informasi yang dirancang dan disampaikan dengan berbagai gaya dan kemasan yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya salah informasi dan salah pemikiran tentang makna informasi tersebut .

Profesionalisme penyuluhan juga harus  didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para penyuluh  professional.

Salah satu dari kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan menggunakan teknologi informasi yang terus-menerus berkembang sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat.
Keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikat keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi penyuluh professional.

Selain itu, agar profesi penyuluhan dapat berkembang maka evaluasi dan uji kelayakan profesi harus terus menerus dilakukan.

Dengan demikian maka, pengembangan profesionalisme penyuluhan juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi penyuluhan, sehingga terjadi penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi.

Melalui cara demikian, maka tindakan penyuluhan akan sesuai dengan bidang ilmu dari profesi penyuluhan dan mampu mengikuti tuntutan  perkembangan serta perubahan masyarakat penggunanya.

Daftar Bacaan:
  1. Gilley, Jerry W and Steven A.Eggland (1989). Prinsiples of Human Resouces Development. NY:Addison Wesley Pub Comp.Inc.
  2. Sasono, Adi (1999). Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan: Paper Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan, Jakarta: 6-7 Desember.
  3. Vitalaya S.Hubeis, Aida dkk. (ed.) (1992). Penyuluhan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Pt.Pustakan pembangunan Nusantara.

(Redaktur)

Mengenal Siapa Penyuluh Agama Katolik itu?


Dalam KepMenkowasbangpan Nomor:54/Kep.Waspan/9/1999; dan Keputusan Bersama Menag dan Ka. BKN Nomor 574 dan Nomor 178 Tahun 1999, secara tegas menyebutkan bahwa “Penyuluh Agama adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan, melalui  bahasa agama”.

Penegasan  dalam Keputusan Bersama Menteri tersebut sangat relevan dengan apa yang saudara-saudara alami di medan tugas. Penyuluh Agama menjadi ujung tombak dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan agama dan pembangunan kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional.

Penyuluh agama Katolik melaksanakan tugas dan fungsinya menyangkut ajaran iman  dan moral Katolik, yang merupakan tugas, dan kewenangan dan tanggung jawab Gereja, dan mereka mendapat tugas perutusan  dari Gereja untuk mewartakan karya keselamatan, Kerajaan Allah. Tugas Pemerintah adalah: membina, membimbing, memfasilitasi, dan meningkatkan mutu tenaga penyuluh agama, termasuk diantaranya penyuluh agama Katolik.

Seorang penyuluh agama Katolik adalah tenaga pastoral, Pembina/pendamping umat, seorang pewarta kabar gembira, yang ikut serta dalam mewujudkan masyarakat  Indonesia yang semakin beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersatu padu, rukun dan saling menghargai sebagai sesama waga negara kesatuan RI yang pancasilais, maka harus memahami tugas dan fungsinya, dalam rangka pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara serta dituntut memiliki keimanan yang kuat, wawasan keagamaan yang luas, serta kesetiaan pada ajaran iman dan moral Katolik.

Hadirin yang saya hormati,
Untuk tugas dan fungsi tersebut seorang Penyuluh Agama Katolik harus memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan Pemerintah. Kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja. Kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu, dibangun berdasarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam bidang tersebut. Dengan demikian, kompetensi penyuluh agama Katolik dapat dimaknai sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai pencerah hidup iman dan petugas pastoral Gereja katolik di bidang penyuluhan agama Katolik.

Sejalan dengan perkembagan dan dinamika masyarakat, kebijakan Pemerintah  di bidang agama, baik kebijakan pemerintah maupun kebijakan Gereja, maka kompetensi Penyuluh sangat strategis, maka di samping perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang agama secara terus menerus dan memadai, juga harus memahami siapa dirinya, tugas pokoknya, siapa audiensnya (kelompok sasaran), dimana lokasinya, bagaimana unsur-unsur penyuluhannya, sampai dimana pengembangan profesinya, serta bagaimana penilaian tugasnya.

Kompetensi yang perlu dan penting ditingkatkan seorang Penyuluh agama Katolik meliputi: [1 Kompetensi Profesional] yaitu memiliki pengetahuan memadai tentang pokok-pokok ajaran agama Katolik. [2 Kompetensi Pedagogik] yaitu memiliki keterampilan mengkomunikasikan bahan penyuluhan kepada kelompok binaan. [3. Kompetensi Sosial] yaitu memiliki kemampuan menjali komunikasi dan relasi dengan orang lain. Dan yang ke [4.Kompetensi kepribadian] yaitu memiliki motivasi religius yang tinggi.

Bila kita mencoba menilik (melihat) situasi masyarakat bangsa kita beberapa tahun belakangan ini, kita sedih. Situasi itu  antara lain: (a) kehidupan moralitas dan keimanan anak bangsa yang merosot, terbukti dari ketidakjujuran dan korupsi yang merajalela b) Pengabaian pilar-pilar bangsa: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI. Kepentingan kelompok/ golongan meningkat; (c) konflik antar kelompok bernuansa SARA; (d) Pendidikan tidak mencerdaskan. Nalar tidak  diasah, kejujuran tidak dilatih: Sekolah untuk ijazah bukan untuk “hidup”; (e) Lemahya penegakan hukum; (f) Perusakan lingkungan hidup; (g) Kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat; (h) Penyalahgunaan simbol-simbol agama. Situasi atau tantangan aktual demikian, menurut hemat saya patut mendapat perhatian dari para tenaga pastoral.
         
Di sini kehadiran para  tenaga pastoral Gereja termasuk mereka yang digelari sebagai Peyuluh Agama Katolik sangat mendukung peningkatan iman  dan pencerahan pengetahuan umat. Karena itu peran tenaga pastoral berkompeten penting, antara lain karena:

  • Tenaga pastoral entah sebagai Penyuluh Agama Katolik atau Katekis merupakan salah satu tenaga terdepan dalam upaya “mencerdaskan bangsa” (Pembukaan UUD 1945) dan  membentuk karakter bangsa manusia Indonesia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, cerdas, berakhlak mulia, saling menghormati sesama warga Negara, dan bertanggung jawab” (UU Sisdiknas).
  • Menurut hemat saya, Tenaga Pastoral dalam hal ini Penyuluh Agama Katolik merupakan salah satu pilar dalam membangun masyarakat lewat karya-karya pelayanannya di tengah masyarakat.
  • Penyuluh agama Katolik membangun relasi akrab dan jejaring komunikasi baik dengan Pemerintah maupun dengan Gereja Katolik guna memaksimalkan pelayanan kita bagi masyarakat Katolik.
  •  Penyuluh Agama Katolik itu bukan hanya sekedar tenaga pengajar/pembimbing/ pendamping, namun menjadi teladan itu sendiri di tengah kehidupan masyarakat. (redaksi)