Senin, 30 Juli 2012

Menuju Profesionalitas Penyuluh



Pendahuluan

Pada tataran Pembangunan Nasional: Pembangunan nasional memerlukan partisipasi aktif pelaku-pelaku pembangunan, baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keterlibatan aktif masyarakat dalam pembanguanan dapat dipercepat melalui program-program penyuluhan pembangunan yang efektif dan handal. Untuk itu maka kegiatan pembangunan perlu dan harus ditangani oleh tenaga profesional dengan dukungan tenaga profesional di bidang penyuluhan pembangunan dengan dilandasi komitmen yang kuat dari berbagai pihak.
Dalam hal ini subtansi keahlian dan kesungguhan bergerak serta bertindak dari para pelaku pembangunan, para pelaku penyuluhan merupakan prasyarat utama.
Demikianpun halnya dengan Penyuluh Agama Katolik PNS. Tentu memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional.

Dasar Hukum
Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badang Kepegawaian  Negara No. 574 Tahun 1999 dan Nomor 178 Tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya

Siapa itu Penyuluh Agama Katolik
Penyuluh adalah PNS yang diberi tugas , tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berbewenang untuk melaksanakan bimbingan/penyuluhan Agama dan Pembangunan.

Apa Itu Penyuluhan?
Adalah suatu kegiatan bimbingan/penyuluhan dan pembangunan lewat bahasa agama untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional

Peran Strategis Penyuluh
Penyuluh memiliki peran yang sangat strategis. Peran penyuluh tidak hanya sebatas pada fungsi menyampaikan inovasi dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran penyuluhannya, akan tetapi harus mampu menjadi jembatan penghubung antara pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan masyarakat sasaran, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan pembangunan maupun untuk menyampaikan umpan balik atau tanggapan kepada pemerintah/lembaga penyuluhan yang bersangkutan.

Jadi Penyuluh haruslah dapat beperan sebagai pembimbing, organisator, dinamisator, pelatih, teknisi, dan jembatan penghubung antara masyarakat sasaran dan  lembaga yang diwakilinya.
Menurut Rogers (1983) penyuluh sebagai agen pengubah adalah seseorang yang atas nama pemerintah atau lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasasaran penyuluhan untuk mau dan mampu melakukan perubahan dengan mengadopsi suatu inovasi. Karena itu, seorang penyuluh seperti dikemukakan Mardikanto (1992) haruslah memiliki kualifikasi tertentu, baik yang menyangkut kepribadian, pengetahuan, sikap, dan keterampilan menyuluh yang professional.

Profesinalisme

Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu : profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi.
Bulle seperti dikutip Gilley Dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini meliputi asapek yaitu :
        a. Ilmu pengetahuan tertentu
        b. Aplikasi kemampuan/kecakapan, dan
        c. Berkaitan dengan kepentingan umum
Aspek-aspek yang terkandung dalam profesi tersebut juga merupakan standar pengukuran profesi penyuluhan

Proses Profesional

Proses professional adalah proses evolusi yang menggunakan pendekatan organisasi dan sistemastis untuk mengembangkan profesi ke arah status professional (peningkatan status).
Secara teoritis menurut Gilley Dan Eggland (1989) pengertian profesional dapat didekati dengan empat prespektif pendekatan yaitu orientasi filosofis, perkembangan bertahap, orientasi karakteristik, dan orientasi non-tradisonal.

Orientasi Filosofi

Ada tiga pendekatan dalam orientasi filosofi, yaitu:
pertama lambang keprofesionalan adalah adanya sertifikat, lissensi, dan akreditasi. Akan tetapi penggunaan lambang ini tidak diminati karena berkaitan dengan aturan-aturan formal.
Pendekatan kedua yang digunakan untuk tingkat keprofesionalan adalah pendekatan sikap individu, yaitu pengembangan sikap individual, kebebasan personal, pelayanan umum dan aturan yang bersifat pribadi. Yang penting bahwa layanan individu pemegang profesi diakui oleh dan bermanfaat bagi penggunanaya.

Pendekatan ketiga : electic, yaitu pendekatan yang menggunakan prosedur, teknik, metode dan konsep dari berbagai sumber, sistim, dan pemikiran akademis. Proses profesionalisasi dianggap merupakan kesatuan dari kemampuan, hasil kesepakatan dan standar tertentu. Pendekatan ini berpandangan bahwa pandangan individu tidak akan lebih baik dari pandangan kolektif yang disepakati bersama. Sertifikasi profesi memang diperlukan, tetapi tergantung pada tuntutan penggunanya.

Orientasi Pengembangan
Orientasi perkembangan menekankan pada enam langkah pengembangan profesionalisasi, yaitu:
a. Dimulai dari adanya asosiasi informal individu-individu yang memiliki minat terhadap profesi.
b. Identifikasi dan adopsi pengetahuan tertentu.
c. Para praktisi biasanya lalu terorganisasi secara formal pada suatu lembaga.
d. Penyepakatan adanya persyaratan profesi berdasarkan pengalaman atau kualifikasi
    tertentu.
e. Penetuan kode etik.
f. Revisi persyaratan berdasarkan kualifikasi tertentu (termasuk syarat akademis) dan
    pengalaman di lapangan.

Orientasi Karakteristik:
Profesionalisasi juga dapat ditinjau dari karakteristik profesi/pekerjaan. Ada delapan karakteristik pengembangan profesionalisasi, dengan yang lain saling terkait:
a. Kode etik
b. Pengetahuan yang terorganisir
c. Keahlian dan kompetensi yang bersifat khusus
d. Tingkat pendidikan minimal
e. Sertifikat keahlian
f. Proses tertentu sebelum memangku profesi untuk bisa memangku  tugas dan tanggung jawab
g. Kesempatan untuk penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota
h. Adanya tindakan disiplin dan batasan tertentu jika terjadi malpraktek.

Orientasi non-tradisional
Prespekti pendekatan yang keempat yaitu prespektif non-tradisonal menyatakan bahwa seseorang dengan bidang ilmu tertentu diharapkan mampu melihat dan merumuskan karakteristik yang unik dan kebutuhan dari sebuah profesi. Oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi elemen-elemen penting untuk sebuah profesi, misalnya termasuk pentingnya sertifikasi profesional dan perlunya standarisasi profesi untuk menguji kelayakannya dengan kebutuhan lapangan.

Revolusi Informasi dan Tantangan Penyuluhan

Hampir semua orang sependapat bahwa teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif, lebih bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Sebagai teknologi, kedua sisi tersebut keberadaanya sangat tergantung pada pemakainya.

Adi Sasono ( 1999) mengidentifikasi beberapa pernyataan berikut yang bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya, karena apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal, yaitu :
Teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi, tetapi disisi lain hirarki sosial yang ada dapat dipertahankan oleh teknologi dan bahkan diperkuat lagi.

Menurut Adi Sasono (1999) menambahkan revolusi teknologi informasi yang pesat telah mengaburkan batas-batas tradional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong permaknaan ulang perdagangan dan investasi.
Revolusi ini secar pasti merasuki semua aspek kehidupan, pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertaiment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola  roduksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu.

Pada dasarnya, adanya teknologi informasi telah memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat,  mudah,terjangkau, dan memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat. Teknologi yang semacam ini harus  dimiliki oleh rakyat secara luas untuk dapat membantu rakyat mengorganisir diri secara modern dan efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat terbesar .

Dalam rangka meningkatkan profesionalisme penyuluhan, terjadinya revolusi teknologi informasi seperti diatas adalah sebuah tantangan yang harus mampu dipecahkan. Adanya revolusi informasi harus dapat dimanfaatkan oleh bidang penyuluhan sebagai alat mencapai tujuannya.

Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh keilmuan penyuluhan dengan dukungan berbagai pengalaman para praktisi penyuluhan di lapangan.
Peran program pendidikan yang mempersiapkan tenaga ahli penyuluhan , seperti perguruan tinggi, Pusdiklat dan lembaga pendidikan kemasyarakatan lainnya perlu mempersiapkan pelaku-pelaku penyuluhan yang mampu menyampaikan informasi pembangunan dan mampu memotivasi masyarakat untuk melakukan tindakan yang tepat, sesuai dengan tuntutan perkembangan teknologi informasi dan kebutuhan masyarakat sasaran penyuluhan

Profesionalisme dalam Penyuluhan
Sistem penyuluhan seharusnya berorientasi pada kegiatan mendalami dan mengembangkan perubahan perilaku masyarakat dan merupakan proses pendidikan berkelanjutan yang dilakukan dengan cara persuasive atau membujuk.

Namun,  hingga saat ini tidak jarang berubah bentuk menjadi proses instruksi dengan cara paksaan. Hal ini terjadi karena kegiatan penyuluhan dilakukan dengan cara berorientasi pada kepentingan sektoral atau target pembangunan tertentu tanpa memikirkan kepentingan dan kesiapan khalayak dalam menerima berbagai tawaran perubahan tersebut.
Sistem penyuluhan yang berorientasi pada keterpaduan dengan mengutamakan kepentingan khalayak sasaran penyuluhan seharusnya dijadikan tolok ukur dalam merancang suatu program penyuluhan.

Dalam hal ini etika penyuluhan (kode etik) merupakan suatu hal yang perlu disepakati keberadaannya sehingga tidak semua orang atau semua pihak merasa mampu melakukan penyuluhan. Lewat etika penyuluhan sekaligus dapat dipertemukan berbagai kepentingan dengan beragam kepentingan khalayak sasaran penyuluhan.

Dengan demikian pendekatan pembangunan dari bawah (bottom-up) dan pendekatan pembangunan dari atas (top-down) dapat dan mau dipertemukan dalam suasana keakraban.
Oleh karenanya, kerjasama antara pelaku pembangunan dan pelaku penyuluhan harus saling terkait dan saling memerlukan

Kode etik penyuluhan akan berfungsi sebagai norma hukum dan sekaligus sebagai norma kemasyarakatan. Oleh karenanya kelembagaan profesionalisme  penyuluhanpun sangat diperlukan untuk menghindari penyuluhan yang terkotak-kotak karena alasan struktur birokratisasi atau kepentingan pembangunan sektoral.

Untuk itu, maka setiap penyuluh dan setiap kelembagaan penyuluhan tidak perlu harus memiliki sistem penyuluhan sendiri dengan khalayak sasaran penyuluhan yang juga tersendiri.
Dengan demikian maka tidak akan terjadi kebingungan khalayak sasaran penyuluhan dalam menerima informasi yang dirancang dan disampaikan dengan berbagai gaya dan kemasan yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya salah informasi dan salah pemikiran tentang makna informasi tersebut .

Profesionalisme penyuluhan juga harus  didukung oleh kompetensi yang standar yang harus dikuasai oleh para penyuluh  professional.

Salah satu dari kompetensi tersebut adalah pemilikan kemampuan menggunakan teknologi informasi yang terus-menerus berkembang sesuai dengan kemajuan dan kebutuhan masyarakat.
Keahlian yang bersifat khusus, tingkat pendidikan minimal, dan sertifikat keahlian haruslah dipandang perlu sebagai prasarat untuk menjadi penyuluh professional.

Selain itu, agar profesi penyuluhan dapat berkembang maka evaluasi dan uji kelayakan profesi harus terus menerus dilakukan.

Dengan demikian maka, pengembangan profesionalisme penyuluhan juga harus mempersyaratkan hidup dan berperanannya organisasi profesi penyuluhan, sehingga terjadi penyebarluasan dan pertukaran ide diantara anggota dalam menjaga kode etik dan pengembangan profesi.

Melalui cara demikian, maka tindakan penyuluhan akan sesuai dengan bidang ilmu dari profesi penyuluhan dan mampu mengikuti tuntutan  perkembangan serta perubahan masyarakat penggunanya.

Daftar Bacaan:
  1. Gilley, Jerry W and Steven A.Eggland (1989). Prinsiples of Human Resouces Development. NY:Addison Wesley Pub Comp.Inc.
  2. Sasono, Adi (1999). Ekonomi Kerakyatan dalam Dinamika Perubahan: Paper Konferensi Internasional Ekonomi Jaringan, Jakarta: 6-7 Desember.
  3. Vitalaya S.Hubeis, Aida dkk. (ed.) (1992). Penyuluhan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Pt.Pustakan pembangunan Nusantara.

(Redaktur)

Mengenal Siapa Penyuluh Agama Katolik itu?


Dalam KepMenkowasbangpan Nomor:54/Kep.Waspan/9/1999; dan Keputusan Bersama Menag dan Ka. BKN Nomor 574 dan Nomor 178 Tahun 1999, secara tegas menyebutkan bahwa “Penyuluh Agama adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama dan pembangunan, melalui  bahasa agama”.

Penegasan  dalam Keputusan Bersama Menteri tersebut sangat relevan dengan apa yang saudara-saudara alami di medan tugas. Penyuluh Agama menjadi ujung tombak dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan agama dan pembangunan kepada masyarakat dalam upaya meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan nasional.

Penyuluh agama Katolik melaksanakan tugas dan fungsinya menyangkut ajaran iman  dan moral Katolik, yang merupakan tugas, dan kewenangan dan tanggung jawab Gereja, dan mereka mendapat tugas perutusan  dari Gereja untuk mewartakan karya keselamatan, Kerajaan Allah. Tugas Pemerintah adalah: membina, membimbing, memfasilitasi, dan meningkatkan mutu tenaga penyuluh agama, termasuk diantaranya penyuluh agama Katolik.

Seorang penyuluh agama Katolik adalah tenaga pastoral, Pembina/pendamping umat, seorang pewarta kabar gembira, yang ikut serta dalam mewujudkan masyarakat  Indonesia yang semakin beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersatu padu, rukun dan saling menghargai sebagai sesama waga negara kesatuan RI yang pancasilais, maka harus memahami tugas dan fungsinya, dalam rangka pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara serta dituntut memiliki keimanan yang kuat, wawasan keagamaan yang luas, serta kesetiaan pada ajaran iman dan moral Katolik.

Hadirin yang saya hormati,
Untuk tugas dan fungsi tersebut seorang Penyuluh Agama Katolik harus memiliki kompetensi sebagaimana diharapkan Pemerintah. Kompetensi merupakan kebulatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja. Kompetensi merupakan seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu, dibangun berdasarkan pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam bidang tersebut. Dengan demikian, kompetensi penyuluh agama Katolik dapat dimaknai sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai pencerah hidup iman dan petugas pastoral Gereja katolik di bidang penyuluhan agama Katolik.

Sejalan dengan perkembagan dan dinamika masyarakat, kebijakan Pemerintah  di bidang agama, baik kebijakan pemerintah maupun kebijakan Gereja, maka kompetensi Penyuluh sangat strategis, maka di samping perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang agama secara terus menerus dan memadai, juga harus memahami siapa dirinya, tugas pokoknya, siapa audiensnya (kelompok sasaran), dimana lokasinya, bagaimana unsur-unsur penyuluhannya, sampai dimana pengembangan profesinya, serta bagaimana penilaian tugasnya.

Kompetensi yang perlu dan penting ditingkatkan seorang Penyuluh agama Katolik meliputi: [1 Kompetensi Profesional] yaitu memiliki pengetahuan memadai tentang pokok-pokok ajaran agama Katolik. [2 Kompetensi Pedagogik] yaitu memiliki keterampilan mengkomunikasikan bahan penyuluhan kepada kelompok binaan. [3. Kompetensi Sosial] yaitu memiliki kemampuan menjali komunikasi dan relasi dengan orang lain. Dan yang ke [4.Kompetensi kepribadian] yaitu memiliki motivasi religius yang tinggi.

Bila kita mencoba menilik (melihat) situasi masyarakat bangsa kita beberapa tahun belakangan ini, kita sedih. Situasi itu  antara lain: (a) kehidupan moralitas dan keimanan anak bangsa yang merosot, terbukti dari ketidakjujuran dan korupsi yang merajalela b) Pengabaian pilar-pilar bangsa: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI. Kepentingan kelompok/ golongan meningkat; (c) konflik antar kelompok bernuansa SARA; (d) Pendidikan tidak mencerdaskan. Nalar tidak  diasah, kejujuran tidak dilatih: Sekolah untuk ijazah bukan untuk “hidup”; (e) Lemahya penegakan hukum; (f) Perusakan lingkungan hidup; (g) Kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat; (h) Penyalahgunaan simbol-simbol agama. Situasi atau tantangan aktual demikian, menurut hemat saya patut mendapat perhatian dari para tenaga pastoral.
         
Di sini kehadiran para  tenaga pastoral Gereja termasuk mereka yang digelari sebagai Peyuluh Agama Katolik sangat mendukung peningkatan iman  dan pencerahan pengetahuan umat. Karena itu peran tenaga pastoral berkompeten penting, antara lain karena:

  • Tenaga pastoral entah sebagai Penyuluh Agama Katolik atau Katekis merupakan salah satu tenaga terdepan dalam upaya “mencerdaskan bangsa” (Pembukaan UUD 1945) dan  membentuk karakter bangsa manusia Indonesia yang “beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, cerdas, berakhlak mulia, saling menghormati sesama warga Negara, dan bertanggung jawab” (UU Sisdiknas).
  • Menurut hemat saya, Tenaga Pastoral dalam hal ini Penyuluh Agama Katolik merupakan salah satu pilar dalam membangun masyarakat lewat karya-karya pelayanannya di tengah masyarakat.
  • Penyuluh agama Katolik membangun relasi akrab dan jejaring komunikasi baik dengan Pemerintah maupun dengan Gereja Katolik guna memaksimalkan pelayanan kita bagi masyarakat Katolik.
  •  Penyuluh Agama Katolik itu bukan hanya sekedar tenaga pengajar/pembimbing/ pendamping, namun menjadi teladan itu sendiri di tengah kehidupan masyarakat. (redaksi)