Artikel oleh Veronica P.
S.Pd (III/d) dengan NIP 150 301 290
(Penyuluh
Agama Katolik Kabupaten Kuningan)
==========================================
(Sasaran
: Ibu-Ibu Wanita Katolik dan Umat di lingkungan)
1.
Tema : PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM GERAJA
2.
Tujuan :
Pertemuan ini
bertujuan agar peserta melihat dan menempatkan perempuan sesuai dengan
keberadaannya dan segala potensi yang dimilikinya pada posisi yang benar.
3.
Pemikiran Dasar :
a.
Perempuan memiliki potensi dan
talenta yang perlu dimanfaatkan dengan baik.
b. Kenyataannya talenta dan potensi pada perempuan kurang dimanfaatkan
dengan baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaa dirinya dan orang lain.
c. Baik dalam sejarah Gereja sepanjang masa maupun dalam sejarah dunia,
peranan perempuan dalam kehidupan sangat besar. Ia bisa membangun dunia dan
masyarakat, tetapi juga bisa menghancurkan kehidupannya sendiri dan kehidupan
orang lain.
d. Perempuan dari kodratnya memberikan hirup baru kepada manusia.
4.
Pembukaan : Doa
Ya Tuhan
alangkah senangnya kalau boleh memiliki kehendak yang kuat. Kami teringat akan
orang-orang yang memiliki kamuan keras membaja. Mereka terus berusaha membangun
dunia. Diantara mereka terdapat juga banyak perempuan yang mempunyai kemampuan
dan kehendak kuat untuk menyelamatkan dunia ini. Maria Bunda Putra-Mu dan Bunda
kami adalah Putra-nya. Engkau mengganjar dengan mengangkatNya ke surga dengan
jiwa dan raga. Kami mohon dengan perantaraan Bunda perkasa ini agar kami
dianugerahi kekuatan dan ketabahan dalam memperjuangkan keberanian dan keadilan.
Salam Maria.............
5.
Pengantar Pemandu
Saudar
aterkasih, dalam pertemuan ini, kita akan melihat secara khusus posisi perempuan
dalam Gereja. Mengapa? Karena permasalahan gender ini lebih banyak menyangkut
perempuan. Bagaimana Gereja atau umat beriman menempatkan perempuan dalam
status yang sebenarnya? Untuk itu kita mencoba mendiskusikan sebuah kasus yang
dialaminya oleh Ibu Ari.
KISAH IBU ARI
Ibu Ari, siapa yang tidak mengenalnya? Sejak masih kuliah, dia sudah
aktif di mana-mana : di kampus, di paroki, di masyarakat. Dia memang
menyenangkan sehingga pertemuan-pertemuan menjadi terasa kurang lengkap tanpa
dia. Wisma Mahasiswa itu terasa sepi kalau dia tak hadir. Berada di sekitarnya
bukan karena tertarik pada gagasan-gagasannya yang kreatif dan kerjasama yang
rapi, tetapi orang senang karena dia pandai berbicara. Tak hanya
pembicaraan yag berat dan serius, tetapi
juga humor-humornya yang segar membuat orang tidak merasa rugi untuk
menghabiskan waktu bersama dia. Itulah sebabnya dia mendapat nama kedua : Woro
Criwis.
Perkawinanya tidak membuatnya berubah.
Kalau dia boleh disebut seorang ratu, dia bukan hanya ratu rumah tangga :
kegiatan-kegitannya membuat namanya dikenal sampai di lua batas paroki, kota,
keuskupan dan priponsi tempat tinggalnya.
Tugas pokoknya adalah menjadi guru
Matematika di SMA. Tetapi waktu-waktu kosongnya dipakai untuk membaca banyak
buku yang menyangkut kehidupan sosial. Kegiatan-kegiatan sosialnya menjadikan
kegemaran membacanya sebagai pemenuhan kebutuhan sehingga ia tidak hanya
menjadi orang yang suka ikut-ikutan, tetapi memiliki pendapat, pemikiran,
bahkan merumuskan dan meawarkan gagasan, menentukan langkah dan mengevluasi
perubahan yang terjadi.
Kini kedua anaknya sudah besar. Ria anak
yang kedua yang kuliah di Fakultas Sosial dan Politik nampaknya tak kalah aktif
dibandingkan ketik ibu Ari masih muda. Dan yang menarik adalah anak
perempuannya ini dapat dijadikan teman diskusi yang memperkaya. Sudah berapa
lama anaknya pulang dan membawa cerita tentang bagaimana dia dan teman-temannya
mengembangkan studi tentang perempuan. Dia pun ikut tertarik. Pelan-pelan dia
sadari bahwa ada masalah besar di kalangan perempun bangsanya. Dalam
perjalanannya ke Bali yang terakhir, perempuan-perempuan yang menjadi kuli
bngunan di jalan yang disaksikannya telah mengusik hatinya. Gambaran perempuan
dengan pakaian dekil, mengangkat beban berat itu kerap kali muncul di benaknya.
Sudah hampir dua semester ini berbagai bahan bacaan tentang perempuan di
lalapnya. Ketika adiknya yang mau pulang dari belajar di Amerika menanyakan
oleh-oleh yang diinginkan, satu jawabannya ialah buku-buku tentang gerakan
perempuan.
Dia merasa bahwa di dalam hatinya timbul
sesuatu yang mengganggu, menentang dan sekaligu mendorong untuk berbuat
sesuatu. Dia merasakan tumbuhnya kepekaan baru. Dia jadi mudah tersinggung bila
ada berita tentang perempuan yang dilecehkan. Dalam sebuah perjalanan, untuk
mengisi waktu, dia membaca “Bekisar Merah” – nya Ahmad Tohari. Dia menitikkan
air mata. Apa yang diderita oleh Lasi itu adalah lambang penderitaan banyak
sekali perempuan di Indonesia. Juga, kematian Srintil Ronggeng Dukuh Paruk dari
penulis yang sama dan Buku Jantera Bianglala adalah kisah nyata yang masih
dengan mudah dapat didengar jaman ini. Akan tetapi semuanya dirasakan belum
encukupi. Dia ikut beberapa seminar tentang perempuan dan disana ia mengenal
teman-teman baru.
Anak-anaknya sudah beranjak dewasa.
Suaminya juga tidak banyak rewel. Dia punya cukup waktu untuk mematangkan
gagasannya. “Aku harus memulai,” itulah kata-katanya pada suatu hari. Maka ia
mulai bergabung dengan kelompok-kelompok yang aktif dalam gerakan ini. Di sana
dia menemukan bekas muridnya. Dia senang. Hanya saja kalau sendirian di rumah
dia merasa begitu sepi. Di beberapa kegiatan yang diikuti, dia lebih banyak
menemukan pemikir-pemikir serta aktivis vokal yang masih muda, hampir tidak ada
yang seumur. Juga tidak ada yang seagama dengannya, Maka dia putuskan untuk
menawarkan gagasannya ini kepada teman-teman di paroki dan diorganisasi Wanita
Katolik.
Dia temui beberapa teman. Tanggapannya
berbagai macam. Sekian banayk tanggapan itu dia catat baik-baik. Ibu sutanto,
misalnya, dosen Akutansi di Universitas Katolik, semula nampak berminat, bahkan
sekali pernah mengundang ke rumahnya. Setelah beberapa kali bertemu, Bu Tanto
mengatakan, “Ah jeng, mbok jangan aneh-aneh. Kodrat perempuan kan memang
begitu. Dia kan memang harus tunduk pada suami, mendidik anak dengan baik.
Kalaupun dia bekerja, itu kan hanya untuk keluarganya. Lihat to, nama kita ini.
Sejak kawin kan orang tidak memandang saya “Sri”. Saya lbih dikenal dengan ‘Ibu
Sutanto”. Kitab Suci saja mengatakan ,”Hai istri, tunduklah kepada suamimu,
seperti kepada tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus
kepala jemaat..... (Lih Ef 5:22). Dan lagi, kita ini kan memang hanya pembantu
suami. Panggilan kita adalah di dalam keluarga. Itulah sbabnya sejak dulu saya
tidk masuk organisasi-organisasi gereja. Bukankah Kitab Suci sendiri mengatakan
,” Sama seperti semua jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus
berdiam diri dalam pertemun-pertemuan jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan
untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga
oleh Hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka
menanyakan kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara
dalam pertemuan jemaat (1 Kor 14:34 – 35)
Ibu Ari terkejut sekali dengan jawaban
itu, Lalu dia bertanya, “Lo, tetapi ibu kan seorang dosn...?” “Iyah jeng, semua
itu kan untuk cari tambahan nafkah, untuk pendidikan anak-nak yang sekarang ini
semakin mahal dan lagi suami kan juga senang kalau kita bisa ikut ‘urun-urun”
Ini lho Jeng, saya kira lebih menarik, beberapa ibu merencanakan untuk ziarah
ke Laourdes. Mereka sudah mengumpulkan uang. Sekarang tinggal mencari seorang
untuk mengorganisasikannya. Anda kan selama ini pintar berorganisasi. Bergabung
ya....?
Pembicaraan itu terekam lama di hatinya.
Tetapi Ibu Ari tidak tinggal diam. Dia temui ibu Mira yang selam ini terkenal
sebagai pengusaha katering yang berhasil. Memang ibu Mira juga berminat. Bahkan
dalam perjalanan ziarah ke Sendangsono, bulan Mei yang lalu, dia sempatkan
untuk duduk di samping bu Ari. Di dengarnya gagasan-gagasan Bu Ari seperti
seorang anak mendengarkan gurunya. Ini sebuah kisah yang lain dari pada
kehidupan sehariannya melayani pesanan. Ini juga hal baru selama sekolah di
IKIP jurusan Tata Boga tak pernah didengarnya. Dia tertarik pada kisah tentang
perempuan di Muangthai yang dijual oleh keluarganya untuk dijadikan pelacur.
Dia terkesan juga oleh cerita Sadisah yang menjadi buruh di Tanggerang dan
tinggal dibedeng-bedeng kumuh yang ketika Lebaran enggan pulang ke dusun karena
tidak membawa oleh-oleh bagi keluarganya yang mengira kalau bekerja di kota
pasti akan pulang ke dusun sebagai orang kaya.
Memang Bu, perempuan-perempuan banyak
yang menderita. Menurut saya, itu karena mereka kurang pendidikan sehingga
mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat dalam hidup ini. Kalau nanti bu Ari
mau memulai sebuah usaha pendidikan untuk mereka, jangan segan-segan mengajak
saya.”
Pada suatu hari,
Ibu Mira datang ke rumah Ibu Ari. Dia menyerahkan uang satu juta dengan
meninggalkan pesan, “bu, ini syukuran, si Nita baru saja luus, silahkan
dijadikan modal buat pendidikan anak-anak perempuan....siapa tahu dapat
mengurangi jumlah mereka yang harus jadi buruh murah....”
Bu Ari tercengang. Dua bulan kemudian,
pada bulan agustus dia telepon ke rumah Bu Mira, untuk mengajaknya mengikuti
seminar tentang perempuan. Tetapi jawaban dari ujung sana membuatnya merasa
sendirian lagi. Selama sebulan Bu Mira akan pergi ke luar negeri, ke Amerika
dan pulangnya lewat Eropa. Dia mau
mengambil program S2 di Wasington University.
Untuk
beberapa lama bu Ari merasa sendiri. Dia mau memulai sesuatu. Tetapi
masih ad hal yang kurang. Dia harus mempunyai sebuah komunitas. Pada suatu hari
di sebuah pesta nikah, dia ditemui oleh Anas bekas muridnya yang menjadi
Sarjana Hukum dan aktif di gerakan perempuan. ‘Ya, Bu, tentu kami senang kalau
ibu mau bergabung bersama kami, kami punya banyak program penyadaran.
Orang-orang kami tinggal bersama perempuan-perempuan yang menjadi korban
struktur budaya, sosial, ekonomi dan politik. Kami tulis keadaan mereka, kami
ajak melihat sebab-sebabnya. Kami juga mempunyai bagian publiksi yang
menyiarkan sebanyak mungkin penderitaan perempuan. Kami mencita-citakan sebuah
kesetaraan. Juga, ada bagian Advokasi hukum. Salah satu penderitaan perempuan
di negeri ini karena banyak rumusan hukum yang tidak adil. Kami ingin ubah itu
bersama-sama. Kami juga membuat jaringan global karena dalam perjuangan ini
kami tidak sendirian; seluruh dunia menderita karena perempuan menderita....”
Diskusi
Peserta dibagi
dalam kelompok dan diberikan pertanyaa penuntun :
a. Keprihatinan ibu Ari mengenai perempuan mendapat tanggapan. Dalam
tuturan ini ada tiga ibu ; Ibu Susanto, Ibu Mira dan Ibu Anas. Dari ketiga
tanggapan itu, Anda tertarik pada tanggapan mana/ Silahkan memilih salah satu
saja. Mengapa anda berpendapat bahwa tanggapan orang yang Anda pilih itu adalah
yang baik?
b. Saya anggap tanggapan ibu .....adalah tanggapan yan pling baik karena
.....................
c. Saya tidak mengganggap tanggapan ibu ....sebagai tanggapan yang terbaik
karena ...............................
d. Tanggapan dari lingkungan saya kebanyakan dekat dengan tanggapan
saya.................... dengan contoh .......
6.
Kelompok Masuk dalam pleno
Peserta diminta
untuk memilih dari ketiga kekuatan ibu-ibu itu. Bagaimana kekuatan nilai yang
dipilih itu mau dikembangkan.
7.
Perluasan pandangan dan Refleksi
Pemandu :
Kalau masing-masing kelompok dengan alasannya memilih kekuatan-kekuatan
yang ada pada ketiga ibu tersebut, ya... pasti ada segi positifnya dan
negatifnya juga. Kita tidak melihat mana yang benar dan mana yang salah, tetapi
mau meliaht nilai atau kekuatan yang harus dikembangkan demi mengatasi
permasalahan gender sehingga baik laki-laki maupun perempuan dapat menghayati
hidupnya sesuai dengan kepribadiannya.
Gereja dalam Gaudium et Spes 8 mengatakan ,”Adapun dalam kehidupan
keluarga muncullah berbagai ketidakserasian, baik dengan kondisi kependudukan,
ekonomi dan sosial, yang serba mendesak, maupun karena kesulitan-kesulitan yang
timbul antara angkatan-angkatan yang beruntun atau pun juga karena
hubungan-hubungan sosial yang baru antara laki-laki dan perempuan.”
Dengan ini Gereja juga melihat adanya ketidakserasian dalam relasi laki-laki
dan perempuan akibat perjalanan waktu dan perkembangan relasi dalam bidang
ekonomi, kebudayaan dan sosial. Dalam GS 9 dinyatakan, “ Kaum perempuan
menuntut kesamaam dengan kaum laki-laki berdasarkan hukum maupun di dalam
kenyataan, bila kesamaan itu belum mereka peroleh’.
Dengan ini Gereja juga menghendaki kesamaan laki-laki dan perempuan
sesuai dengan keberadaan masing-masing.
Sebab itu GS 60 jelas-jelas melihat bahwa sudah waktunya kesamaan harus
diwujudkan dalam : “karena sekarang terbuka peluang untuk membebaskan jumlah
orang yang amat besar dari bncana kebodohan, maka merupakan kewajiban yang
cocok sekali denagn jaman sekarang, terutama bagi umat kristen, untuk dengan
tekun berupaya supaya di bidang ekonomi maupun politik pda tingkat nasional
maupun tingkat internasional diambil keputusan-keputusan fundamental agar
dimanapun juga diakui dn diwujudkan secara nyata hak semua orang atas
kebudayaan manusiawi, soal, selaras dan martabat pribadi, tanpa membeda-bedakan
suku, laki-laki dan perempuan, bangsa, agama atau kondisi sosial.....”
Di Indonesia, himbauan Gereja ini perlu juga diperhatikan bersama
karena permasalahan perempua cukup memprihatinkan. Kalau kita kembali melihat
refleksi dan sharing-sharing pengalaman sesama di atas....lalu bagaimana sikap
kita pada masa mendatang, apakah yang mau kita laksanakan sebagai tanggapan
atas himbauan Gereja dalam situasi kita ini?
8.
Tindakan ke Masa Depan
a.
Menanggapi segala kekerasan dengan
cara bijaksana. Ini harus dimulai dari diri sendiri.
b.
Membina saat-saat kebersamaan,
seperti makan bersama, rekreasi bersama, doa bersama (baik di dalam komunitas
dan di dalam keluarga)
c.
Mengubah hubungan-hubungan negatif
seperti perbudakan, majikan-buruh dengan hubungan positif seperti persaudaraan,
rekan kerja, baik di tempat kerja, di sekolah, di rumah dengan anak, pembantu,
serta tetangga.
d.
Perjuangan disesuaikan dengan
kesadaran dan ketabahan
e.
Perlu dialog dan pembicaraan
bersama dalam menghdapi persoalan dan masalah, baik di dalam keluarg maupun di
dalm komunitas.
9.
Penutup
Doa
spontan oleh peserta, kemudian disatukan dengan doa Bapa Kami dan diakhiri
dengan lagu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar