Memberdayakan perempuan (Ilustrasi: rogerstv.com) |
Oleh Osner Purba Sib M.Si, Panyuluh Agama Katolik Kota Serang Provinsi Banten
1. Tema :
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM GEREJA
2. Tujuan :
Pertemuan ini bertujuan agar peserta melihat dan
menempatkan perempuan sesuai dengan keberadaannya dan segala potensi yang
dimilikinya pada posisi yang benar.
3. Pemikiran Dasar :
a. Perempuan memiliki potensi dan talenta yang
perlu dimanfaatkan dengan baik.
b. Kenyataannya talenta dan potensi pada perempuan
kurang dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaa dirinya dan
orang lain.
c. Baik dalam sejarah Gereja sepanjang masa maupun
dalam sejarah dunia, peranan perempuan dalam kehidupan sangat besar. Ia bisa
membangun dunia dan masyarakat, tetapi juga bisa menghancurkan kehidupannya sendiri
dan kehidupan orang lain.
d. Perempuan dari kodratnya memberikan hirup baru
kepada manusia.
4.
Pembukaan : Doa
Ya Tuhan alangkah senangnya kalau boleh memiliki kehendak
yang kuat. Kami teringat akan orang-orang yang memiliki kamuan keras membaja.
Mereka terus berusaha membangun dunia.Diantara mereka terdapat juga banyak
perempuan yang mempunyai kemampuan dan kehendak kuat untuk menyelamatkan dunia
ini.Maria Bunda Putra-Mu dan Bunda kami adalah Putra-nya.Engkau mengganjar
dengan mengangkatNya ke surga dengan jiwa dan raga.Kami mohon dengan
perantaraan Bunda perkasa ini agar kami dianugerahi kekuatan dan ketabahan
dalam memperjuangkan keberanian dan keadilan. Salam Maria.............
5.
Pengantar Pemandu
Saudar aterkasih, dalam pertemuan ini, kita akan melihat secara
khusus posisi perempuan dalam Gereja. Mengapa? Karena permasalahan gender ini
lebih banyak menyangkut perempuan. Bagaimana Gereja atau umat beriman
menempatkan perempuan dalam status yang sebenarnya?Untuk itu kita mencoba
mendiskusikan sebuah kasus yang dialaminya oleh Ibu Ari.
KISAH IBU ARI
Ibu Ari, siapa yang tidak mengenalnya?
Sejak masih kuliah, dia sudah aktif di mana-mana : di kampus, di paroki, di
masyarakat. Dia memang menyenangkan sehingga pertemuan-pertemuan menjadi terasa
kurang lengkap tanpa dia. Wisma Mahasiswa itu terasa sepi kalau dia tak
hadir.Berada di sekitarnya bukan karena tertarik pada gagasan-gagasannya yang
kreatif dan kerjasama yang rapi, tetapi orang senang karena dia pandai
berbicara. Tak hanya pembicaraan yag
berat dan serius, tetapi juga humor-humornya yang segar membuat orang tidak
merasa rugi untuk menghabiskan waktu bersama dia. Itulah sebabnya dia mendapat
nama kedua : Woro Criwis.
Perkawinanya
tidak membuatnya berubah. Kalau dia boleh disebut seorang ratu, dia bukan hanya
ratu rumah tangga : kegiatan-kegitannya membuat namanya dikenal sampai di lua
batas paroki, kota, keuskupan dan priponsi tempat tinggalnya.
Tugas pokoknya
adalah menjadi guru Matematika di SMA.Tetapi waktu-waktu kosongnya dipakai
untuk membaca banyak buku yang menyangkut kehidupan sosial. Kegiatan-kegiatan
sosialnya menjadikan kegemaran membacanya sebagai pemenuhan kebutuhan sehingga
ia tidak hanya menjadi orang yang suka ikut-ikutan, tetapi memiliki pendapat,
pemikiran, bahkan merumuskan dan meawarkan gagasan, menentukan langkah dan
mengevluasi perubahan yang terjadi.
Kini kedua
anaknya sudah besar.Ria anak yang kedua yang kuliah di Fakultas Sosial dan
Politik nampaknya tak kalah aktif dibandingkan ketik ibu Ari masih muda. Dan
yang menarik adalah anak perempuannya ini dapat dijadikan teman diskusi yang
memperkaya.Sudah berapa lama anaknya pulang dan membawa cerita tentang
bagaimana dia dan teman-temannya mengembangkan studi tentang perempuan.Dia pun
ikut tertarik.Pelan-pelan dia sadari bahwa ada masalah besar di kalangan
perempun bangsanya.Dalam perjalanannya ke Bali yang terakhir,
perempuan-perempuan yang menjadi kuli bngunan di jalan yang disaksikannya telah
mengusik hatinya.Gambaran perempuan dengan pakaian dekil, mengangkat beban
berat itu kerap kali muncul di benaknya.Sudah hampir dua semester ini berbagai
bahan bacaan tentang perempuan di lalapnya.Ketika adiknya yang mau pulang dari
belajar di Amerika menanyakan oleh-oleh yang diinginkan, satu jawabannya ialah
buku-buku tentang gerakan perempuan.
Dia merasa
bahwa di dalam hatinya timbul sesuatu yang mengganggu, menentang dan sekaligu
mendorong untuk berbuat sesuatu.Dia merasakan tumbuhnya kepekaan baru.Dia jadi
mudah tersinggung bila ada berita tentang perempuan yang dilecehkan.Dalam
sebuah perjalanan, untuk mengisi waktu, dia membaca “Bekisar Merah” – nya Ahmad
Tohari.Dia menitikkan air mata.Apa yang diderita oleh Lasi itu adalah lambang
penderitaan banyak sekali perempuan di Indonesia. Juga, kematian Srintil
Ronggeng Dukuh Paruk dari penulis yang sama dan Buku Jantera Bianglala adalah
kisah nyata yang masih dengan mudah dapat didengar jaman ini. Akan tetapi
semuanya dirasakan belum encukupi. Dia ikut beberapa seminar tentang perempuan
dan disana ia mengenal teman-teman baru.
Anak-anaknya
sudah beranjak dewasa.Suaminya juga tidak banyak rewel.Dia punya cukup waktu
untuk mematangkan gagasannya.“Aku harus memulai,” itulah kata-katanya pada
suatu hari. Maka ia mulai bergabung dengan kelompok-kelompok yang aktif dalam
gerakan ini. Di sana dia menemukan bekas muridnya. Dia senang.Hanya saja kalau
sendirian di rumah dia merasa begitu sepi.Di beberapa kegiatan yang diikuti,
dia lebih banyak menemukan pemikir-pemikir serta aktivis vokal yang masih muda,
hampir tidak ada yang seumur.Juga tidak ada yang seagama dengannya, Maka dia
putuskan untuk menawarkan gagasannya ini kepada teman-teman di paroki dan
diorganisasi Wanita Katolik.
Dia temui
beberapa teman.Tanggapannya berbagai macam.Sekian banayk tanggapan itu dia
catat baik-baik.Ibu sutanto, misalnya, dosen Akutansi di Universitas Katolik,
semula nampak berminat, bahkan sekali pernah mengundang ke rumahnya.Setelah
beberapa kali bertemu, Bu Tanto mengatakan, “Ah jeng, mbok jangan aneh-aneh.
Kodrat perempuan kan memang begitu. Dia kan memang harus tunduk pada suami,
mendidik anak dengan baik. Kalaupun dia bekerja, itu kan hanya untuk
keluarganya. Lihat to, nama kita ini. Sejak kawin kan orang tidak memandang
saya “Sri”. Saya lbih dikenal dengan ‘Ibu Sutanto”. Kitab Suci saja mengatakan
,”Hai istri, tunduklah kepada suamimu, seperti kepada tuhan, karena suami
adalah kepala istri sama seperti Kristus kepala jemaat..... (Lih Ef 5:22). Dan
lagi, kita ini kan memang hanya pembantu suami. Panggilan kita adalah di dalam
keluarga.Itulah sbabnya sejak dulu saya tidk masuk organisasi-organisasi
gereja. Bukankah Kitab Suci sendiri mengatakan ,” Sama seperti semua jemaat
orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam
pertemun-pertemuan jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk
berbicara.Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh Hukum
Taurat.Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakan kepada
suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam
pertemuan jemaat (1 Kor 14:34 – 35)
Ibu Ari terkejut
sekali dengan jawaban itu, Lalu dia bertanya, “Lo, tetapi ibu kan seorang
dosn...?” “Iyah jeng, semua itu kan untuk cari tambahan nafkah, untuk
pendidikan anak-nak yang sekarang ini semakin mahal dan lagi suami kan juga
senang kalau kita bisa ikut ‘urun-urun” Ini lho Jeng, saya kira lebih menarik,
beberapa ibu merencanakan untuk ziarah ke Laourdes.Mereka sudah mengumpulkan
uang.Sekarang tinggal mencari seorang untuk mengorganisasikannya. Anda kan
selama ini pintar berorganisasi. Bergabung ya....?
Pembicaraan itu terekam lama di hatinya.Tetapi Ibu Ari tidak tinggal diam. Dia temui ibu Mira yang selam ini terkenal sebagai pengusaha katering yang berhasil.Memang ibu Mira juga berminat.Bahkan dalam perjalanan ziarah ke Sendangsono, bulan Mei yang lalu, dia sempatkan untuk duduk di samping bu Ari.Di dengarnya gagasan-gagasan Bu Ari seperti seorang anak mendengarkan gurunya. Ini sebuah kisah yang lain dari pada kehidupan sehariannya melayani pesanan. Ini juga hal baru selama sekolah di IKIP jurusan Tata Boga tak pernah didengarnya.Dia tertarik pada kisah tentang perempuan di Muangthai yang dijual oleh keluarganya untuk dijadikan pelacur. Dia terkesan juga oleh cerita Sadisah yang menjadi buruh di Tanggerang dan tinggal dibedeng-bedeng kumuh yang ketika Lebaran enggan pulang ke dusun karena tidak membawa oleh-oleh bagi keluarganya yang mengira kalau bekerja di kota pasti akan pulang ke dusun sebagai orang kaya.
Memang Bu,
perempuan-perempuan banyak yang menderita. Menurut saya, itu karena mereka
kurang pendidikan sehingga mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat dalam
hidup ini. Kalau nanti bu Ari mau memulai sebuah usaha pendidikan untuk mereka,
jangan segan-segan mengajak saya.”
Pada suatu hari, Ibu Mira datang ke rumah Ibu Ari. Dia
menyerahkan uang satu juta dengan meninggalkan pesan, “bu, ini syukuran, si
Nita baru saja luus, silahkan dijadikan modal buat pendidikan anak-anak
perempuan....siapa tahu dapat mengurangi jumlah mereka yang harus jadi buruh
murah....”
Bu Ari
tercengang.Dua bulan kemudian, pada bulan agustus dia telepon ke rumah Bu Mira,
untuk mengajaknya mengikuti seminar tentang perempuan. Tetapi jawaban dari
ujung sana membuatnya merasa sendirian lagi. Selama sebulan Bu Mira akan pergi
ke luar negeri, ke Amerika dan pulangnya lewat Eropa. Dia mau mengambil program S2 di Wasington
University.
Untuk beberapa lama bu Ari merasa sendiri. Dia mau
memulai sesuatu.Tetapi masih ad hal yang kurang.Dia harus mempunyai sebuah
komunitas.Pada suatu hari di sebuah pesta nikah, dia ditemui oleh Anas bekas
muridnya yang menjadi Sarjana Hukum dan aktif di gerakan perempuan. ‘Ya, Bu,
tentu kami senang kalau ibu mau bergabung bersama kami, kami punya banyak
program penyadaran. Orang-orang kami tinggal bersama perempuan-perempuan yang
menjadi korban struktur budaya, sosial, ekonomi dan politik.Kami tulis keadaan
mereka, kami ajak melihat sebab-sebabnya.Kami juga mempunyai bagian publiksi
yang menyiarkan sebanyak mungkin penderitaan perempuan.Kami mencita-citakan
sebuah kesetaraan.Juga, ada bagian Advokasi hukum.Salah satu penderitaan
perempuan di negeri ini karena banyak rumusan hukum yang tidak adil.Kami ingin
ubah itu bersama-sama. Kami juga membuat jaringan global karena dalam
perjuangan ini kami tidak sendirian; seluruh dunia menderita karena perempuan
menderita....”
Diskusi
Peserta dibagi dalam kelompok dan diberikan pertanyaa
penuntun :
a. Keprihatinan ibu Ari mengenai perempuan mendapat
tanggapan. Dalam tuturan ini ada tiga ibu ; Ibu Susanto, Ibu Mira dan Ibu Anas.
Dari ketiga tanggapan itu, Anda tertarik pada tanggapan mana/ Silahkan memilih
salah satu saja. Mengapa anda berpendapat bahwa tanggapan orang yang Anda pilih
itu adalah yang baik?
b. Saya anggap tanggapan ibu .....adalah tanggapan
yan pling baik karena .....................
c. Saya tidak mengganggap tanggapan ibu ....sebagai
tanggapan yang terbaik karena ................
d. Tanggapan dari lingkungan saya kebanyakan dekat
dengan tanggapan saya................ dengan contoh .......
6. Kelompok Masuk dalam pleno
Peserta diminta untuk memilih dari ketiga kekuatan ibu-ibu
itu.Bagaimana kekuatan nilai yang dipilih itu mau dikembangkan.
7. Perluasan pandangan dan Refleksi
Pemandu
:
Kalau masing-masing kelompok dengan
alasannya memilih kekuatan-kekuatan yang ada pada ketiga ibu tersebut, ya...
pasti ada segi positifnya dan negatifnya juga.Kita tidak melihat mana yang
benar dan mana yang salah, tetapi mau meliaht nilai atau kekuatan yang harus
dikembangkan demi mengatasi permasalahan gender sehingga baik laki-laki maupun
perempuan dapat menghayati hidupnya sesuai dengan kepribadiannya.
Gereja dalam Gaudium et Spes 8
mengatakan ,”Adapun dalam kehidupan keluarga muncullah berbagai
ketidakserasian, baik dengan kondisi kependudukan, ekonomi dan sosial, yang
serba mendesak, maupun karena kesulitan-kesulitan yang timbul antara
angkatan-angkatan yang beruntun atau pun juga karena hubungan-hubungan sosial
yang baru antara laki-laki dan perempuan.”
Dengan ini Gereja juga melihat adanya
ketidakserasian dalam relasi laki-laki dan perempuan akibat perjalanan waktu
dan perkembangan relasi dalam bidang ekonomi, kebudayaan dan sosial. Dalam GS 9
dinyatakan, “ Kaum perempuan menuntut kesamaam dengan kaum laki-laki
berdasarkan hukum maupun di dalam kenyataan, bila kesamaan itu belum mereka
peroleh’.
Dengan ini Gereja juga menghendaki
kesamaan laki-laki dan perempuan sesuai dengan keberadaan masing-masing.
Sebab itu GS 60 jelas-jelas melihat
bahwa sudah waktunya kesamaan harus diwujudkan dalam : “karena sekarang terbuka
peluang untuk membebaskan jumlah orang yang amat besar dari bncana kebodohan,
maka merupakan kewajiban yang cocok sekali denagn jaman sekarang, terutama bagi
umat kristen, untuk dengan tekun berupaya supaya di bidang ekonomi maupun
politik pda tingkat nasional maupun tingkat internasional diambil keputusan-keputusan
fundamental agar dimanapun juga diakui dn diwujudkan secara nyata hak semua
orang atas kebudayaan manusiawi, soal, selaras dan martabat pribadi, tanpa
membeda-bedakan suku, laki-laki dan perempuan, bangsa, agama atau kondisi
sosial.....”
Di Indonesia, himbauan Gereja ini perlu
juga diperhatikan bersama karena permasalahan perempua cukup memprihatinkan.
Kalau kita kembali melihat refleksi dan sharing-sharing pengalaman sesama di
atas....lalu bagaimana sikap kita pada masa mendatang, apakah yang mau kita
laksanakan sebagai tanggapan atas himbauan Gereja dalam situasi kita ini?
8. Tindakan ke Masa Depan
a. Menanggapi segala kekerasan dengan cara
bijaksana. Ini harus dimulai dari diri sendiri.
b. Membina saat-saat kebersamaan, seperti makan
bersama, rekreasi bersama, doa bersama (baik di dalam komunitas dan di dalam
keluarga)
c. Mengubah hubungan-hubungan negatif seperti
perbudakan, majikan-buruh dengan hubungan positif seperti persaudaraan, rekan
kerja, baik di tempat kerja, di sekolah, di rumah dengan anak, pembantu, serta
tetangga.
d. Perjuangan disesuaikan dengan kesadaran dan
ketabahan
e. Perlu dialog dan pembicaraan bersama dalam
menghdapi persoalan dan masalah, baik di dalam keluarg maupun di dalm
komunitas.
9. Penutup
Doa
spontan oleh peserta, kemudian disatukan dengan doa Bapa Kami dan diakhiri
dengan lagu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar