Oleh: Nicolaus Anggiat Martumbur Tumanggor
NIP. 196904192003121002
(Penyuluh Agama Katolik Kabupaten Lampung Tengah)
1. Pengantar
Selama ini agama dianggap merupakan suatu pranata dengan perangkat ajaran dogmatis dan moral, perangkat yang mengatur peribadatan dan penataan hidup yang membawa umat manusia mencapai kehidupan ahir yang membahagiakan. Sebagai sebuah pranata, agama memiliki ajaran atau pola yang dihayati oleh umat dalam wadah kesatuan dengan struktur dan sistem tertentu. Karena agama melibatkan manusia yang hidup di dalamnya, maka agama pun mau tidak mau harus dilihat sebagai sebuah lemabaga dengan sistem kepemimpinan tertentu.
2. Berbagai Jenis Konflik
Salah satu yang paling dikhawatirkan pemerintah bisa menghambat pembangunan bangsa yang utuh adalah konflik. Selain unsur ekonomi, politik, sosial, agama adalah salah satu unsur yang paling sensitif untuk menyulut konflik. Pada tataran agama, konflik biasanya melibatkan golongan-golongan yang berbeda agama. Contoh yang paling nyata adalah konflik yang terjadi di Poso dan Ambon beberapa waktu yang lalu. Sebagai sebuah entitas yang sangat sensitif, tidak mengherankan kalau agama pernah dianggap sebagai problem maker tetapi sekaligus sebagai problem solver, pembuat masalah tetapi sekaligus penuntas masalah.
Tidak jarang terjadi kalau konflik juga bisa terjadi dalam suatu agama dengan berbagai aliran yang ada di dalamnya. Agama menjadi problem maker manakala ia tumbuh dan berkembang sebagai sebagai sebuah kesatuan yang absolut dengan mengingkari keberadaan yang lain dan berbeda. Maka untuk itu masing-masing agama harus tidak terjerembab dalam absolutisme. Absolutisme selalu sulit, bahkan tidak bsa menerima pluralitas. Absolutisme berarti paham atau sikap-sikap yang mengklaim bahwa hanya dirinyalah yang paling baik dan benar dan yang mampu membawa golongannya kepada keselamatan. Sementara yang lain adalah salah dan sesat serta membawa orang lain pada kebinasaan.
Betul bahwa para pemeluk agama harus percaya sepenuhnya terhadap kebenaran keyakinannya. Dan keyakinan mutlak terhadap doktrin agamaya masing-masing adalah hal yang wajar. Hal yang tidak wajar adalah jika orang beragama tidak bisa tahan hidup dalam perbedaan, entah dengan aliran dalam suatu agama itu sendiri atau dengan agama lain. Dan sikap itu bisa muncul dengan tekad mengadili keyakinan lain, lebih bahaya lagi bila terjadi pertumpahan darah. Sungguh suatu ironi bahwa atas nama agama yang diyakini dari Tuhan orang menghujat Tuhan.
3. Peran Penyuluh Agama
Dalam konteks menjaga keseimbangan negara dan menghindari negara dari berbagai konflik yang ditimbulkan oleh agama, negara membentuk penyuluh agama yang akan membahasakan berbagai bentuk kebijakan pemerintah dalam bentuk bahasa agama. Tuhan tetap sebagai realitas tertinggi yang melingkupi segenap agama, dan Kitab Suci adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran mutlak masing-masing agama yang memperkenalkan umat pada jalan yang dikehendaki oleh sang Realitas tertinggi itu. Penyuluh diharapkan mampu menjembatani umat pada jalur Tuhan – Agama – Pemerintah. Penyuluh harus mampu merelatifkan konsep umat yang absolut tentang pahammnya dan menempatkan bahwa agama bukanlah Tuhan. Tuhan jauh lebih besar dari agama, bahkan gambaran tentang Tuhanpun takkan pernah penuh dengan realitas Tuhan yang kita pahami. Ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan rumusan yang tepat tentang agama, dan ketidakmampuan untuk mengawasi segala praktek-praktek absolutisme dari umat terkadang memicu konflik antara pemerintah dan umat. Lewat pemahaman yang absolut dari umat terkadang membawa pola hidup radikal di kalangan mereka. Pola hidup semacam ini yang kemudan menimbulkan perbenturan dengan umat lain, di mana mereka hidup. Dalam situasi yang demikian pemerintah sungguh membutuhkan Penyuluh Agama dalam peran sebagai problem solver dan sebagai inspirator/motivator umat.
3.1. Penyuluh Sebagai Problem Solver
Dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, penyuluh perlu membekali dirinya dengan pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agamanya dan tata cara hidup umat lain. Dalam konsep masyarakat yang bhineka tunggal ika, pola hidup yang berbeda dan beragam adalah sebuah keniscayaan. Sejak pembentukan awal dari negara ini pun, kenyataan masyarakat yang majemuk semacam ini sudah disadari. Maka rumusan Pancasila sebagai dasar yang mengayomi berbagai perbedaan, dan UUD 1945 sebagai pola dasar bertindak warga dianggap sudah mumpuni. Hanya pertanyaannya adalah, bagaiamana umat yang sangat sederhana (dan sering terkooptasi dengan konsep yang mendalama dan zaglek/sakleg tentang agama semata) mampu mengerti konsep negara yang begitu filosofis.
Syukurlah para penyuluh sudah dibekali dengan pengetahuan filsafat yang cukup mendalam. Kuliah filsafat dengan berbagai alirannya di perguruan tinggi cukup menjadi bekal bagi penyuluh untuk membahasakan hal-hal yang dalam menjadi hal-hal yang sederhana dalam kehidupan. Kekhawatiran pemerintah akan pemahaman yang picik dari warga terhadap berbagai kebijakan pemerintah akan mampu diterjemahkan secara baik oleh para penyuluh. Apriori warga terhadap kebijakan pemerintah yang membangun diharapkan diterjemahkan penyuluh sesuai dengan bahasa agama dari masing-masing warga.
Tujuan pembangunan yang dicanangkan pemerintah adalah menciptakan masyarakat yang berkeadilan dan berkemakmuran. Akan tetapi dalam masyarkat yang adil dan makmur itu harus dinikmati dengan kehidupan yang rukun dan damai dengan sesama warga lainnya. Pola semacam itu hanya akan tercipta kalau tertanam rasa penghargaan yang baik, tulus dan jujur terhadap mereka yang berkeyakinan lain dengan kita. Maka bagi umat yang dibekap oleh konsep absolutisme dan doktrin dogma yang beku, kaku dan statis perlu dibawa ke pertobatan yang radikal juga. Mereka harus diberi kesadaran bahwa di luar eksklusivisme mereka ada sebuah realitas yang tidak sejelek yang dipikirkan. Di luar konsep yang memenjarakan mereka tetap ada kesadaran lain yang juga mengarah pada keselamatan yang dijanjikan sang Bapa.
3.1 Penyuluh sebagai inspirator/ motivator umat
Penghayatan nilai-nilai religius secara benar dan tepat dari umat diharapkan membawa kesadaran yang kuat untuk pembangunan sebuah komunitas yang kuat dan kompak. Komunitas yang memiliki inspirasi bagus mampu mengejawantahkan segala inspirasi itu menjadi kenyataan. Dalam komunitas penyuluh berada sebagai inspirator dan motivator untuk pengembangan umat. Umat yang memiliki wawasan yang luas dan terbuka akan lebih mudah digiring ke arah yang lebih baik. Dengan kemampuannya, penyuluh mengkondisikan umat/jemaat untuk menempatkan agama sebagai sarana pembangunan pribadi manusia dan masyarakatnya. Dalam situasi masyarakat/umat yang berpendidikan sederhana dan tanpa visi penyuluh berfungsi memberi arah dan arti kokret terhadap setiap nilai-nilai yang dihayati umat selama ini. Penyuluh membantu umat untuk memahami bahwa pembangunan berfungsi sebagai pembebas manusia dari kungkungan kemiskinan dan kebodohan, kesengsaraan dan kehancuran karena pemahaman-pemahaman yang picik akan sebuah nilai agama. Penghayatan yang tepat dan benar akan sebuah nilai harus diarahkan sebagai cahaya yang bisa menerangi kegelapan berpikir, bersikap dan berperilaku manusia. Dengan agama akan terlihat sejauh mana manusia mampu berfungsi sebagai manusia. Penyuluh harus membawa jemaat melihat keindahan dialog yang jujur dan tulus yang bisa dinikmati oleh mereka yang menghayati nilai-nilai yang berbeda di tengah-tengah masyarakat. Umat harus diajak bersama-sama menjawab tantangan zaman yang terus berubah tanpa ada rasa rendah diri (inferiority) atau kesombongan karena merasa diri lebih unggul dari yang lain (superiority).
Dalam kondisi negara dengan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, penyuluh dituntut untuk membentuk komunitas jemaat yang memiliki kesadaran akan keniscayaan sebuah dialog. Umat diajak bahwa dalam dalam sebuah dialog ada berbagai hal yang bisa dilihat:
- Tugas dan tanggung jawab bersama setiap golongan beragama dalam melaksanakan moral-etika dari agamannya.
- Bagaimana setiap golongan dan kepercayaan secara bersama meletakkan dasar-dasar moral etika yang kokoh agar bisa membangun masyarakat.
- Melihat pemerintah sebagai fasilitator pembangunan dan bukan semata sebagai polisi, atau hakim yang menghukum kesalahan.
Kerukunan antar umat beragama yang berbeda harus menjadi niat bersama dengan pengandaiana bahwa kerukunan bahwa kerukunan itu tiak menghambat kemajuan masing-masing agama, serta tidak sekedar menjaga dan memelihara situasa tanpa ketegangan dan pertentangan. Kerukunan yang didambakan bersama adalah suatu kondisi dinamis dimana perkembangan bersama masyarakat yang lain dimungkinkan terjadi. Kerukunan yang diharapkan adalah suatu kondisi sosial dimana semua golongan agama dan keyakinan dapat hidup bersama dengan penghargaan yang tinggi akan perbedaan masing-masing. Kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka tetap melakukan praktek-praktek ritual dengan dukungan pihak-pihak yang berbeda.
Oleh karena itu berbagai penyakit yang biasanya tidak disadari umat ada dalam kehidupan beragama mereka harus ditepis agar suasana yang rukun itu bisa tercipta.
- Sinkritisme: sikap yang mencampuradukkan berbagai bentuk ajaran dalam satu garis pandangan kebenaran baru.
- Absolutisme: sikap yang memutlakkan kebenaran agamanya sendiri dengan menafikan kebenaran agama lain.
- Integralisme: Paham dalam hidup beragama dengan aktivitas untuk menegakkan keutuhan, kemurnian, kesempurnaan ajaran imannya dalam hidup konkret.
- Fundamentalisme: Paham mengenai suatu ajaran agama yang kebenarannya diletakkan pada konsep-konsep fundamental.
- Eksklusivisme: pengasigan suatu kelompok dari kelompok lain, berada dalam suatu gethoisme.
- Fanatisme: Sikap keras dalam memegang suatu konsep ajaran agama dan menganggap ajaran yang lain terlalu longgar.
- Radikalisme: Suatu gerakan perjuangan akan keyakinan dengan cara yang sangat keras.
4. Situasi/ Kondisi Sosio-kultural Lampung Tengah
Kabupaten Lampung Tengah adalah salah satu dari 14 daerah tingkat II yang ada di Provinsi Lampung. Letak kabupaten ini berada persis di jalan lintas Sumatera, yang menghubungkan Lampung Selatan, Pesawaran, dan Kabupaten Lampung Utara. Total penduduk Lampung Tengah adalah 2.165.334 yang tersebar di 28 kecamatan. Dari jumlah tersebut 22.551 adalah katolik. 85% dari penduduk Lampung adalah Islam dan Hindu adalah populasi terbanyak kedua (sekitar 7%).
Secara struktural masyarakat Lampung termasuk masyarakat majemuk (heterogen) yang terdiri dari berbagai etnis/suku (Lampung, jawa, batak, jaseng/banten, sunda, bali, madura, palembang, dan berbagai etnis lainnya). Agak aneh, suku Lampung sendiri justeru menjadi populasi yang minoritas dibandingkan dengan pendatang. Dari segi pemeluk agama juga beragam: di lampung juga terdapat pemeluk setiap agama yang ada di Indonesia (Islam, Hindu, Protestan, Katolik, Budha, dan Kong Hu chu) dengan komposisi yang sangat berbeda. Karena posisi Lampung yang sangat dekat endan Ibu Kota negara, maka kecepatan pembangunan Iptek, dan dinamika sosial-budaya, globalisasi informasi, postmodernisme dan proses demokratisasi di ibu kota bisa dengan cepat merambah masuk ke Lampung. Mau tidak mau hal-hal tersebut dapat berdampak positif maupun negatif terhadap norma dan tata nilai yang ada. Perbenturan nilai sebagai awal meruaknya sebuah konflik dalam kehidupan sosial menjadi sangat tinggi. Kondisi negara yang membuka kran lebar terhadap berbagai aspirasi masyarakat juga membuka celah terhadap munculnya ideologi-ideologi baru di bidang politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Dinamika yang terjadi menjadi sangat sulit dihindari dan menjadi kajian yang tidak henti bagi seorang penyuluh untu menemuka rumusan yang pas sebagai acuan untuk bertindak bijak di lapangan.
5. Konteks Gereja Lampung Tengah
Kabupaten Lampung Tengah tercakup dalam jurisdiksi Gereja Keuskupan Tanjung Karang. Maka segala reksa pastoralnya pun tetap mengacu pada reksa pastoral Keuskupan Tanjung Karang. Di wilayah kabupaten Lampung Tengah terdapat lima paroki:
· Paroki St. Lidwina Bandar Jaya, Kecamatan Terbanggi Besar, memiliki 4.490 jiwa dari 16 stasi.
· Paroki St. Gregorius Agung, Kecamatan Terusan Nunyai, memiliki 1.208 jiwa dari 7 stasi.
· Paroki St. Maria Fajar Mataram, Kecamatan Seputih Mataram, memiliki 2.296 jiwa dari 6 stasi.
· Paroki St. Petrus Kalirejo, Kecamatan Kalirejo, memiliki 8.368 jiwa dari 23 stasi.
· Dan bagian Paroki Hati Kudus Yesus, Metro (di luar wilayah Lampung Tengah) memiliki 6 stasi di wilayah Lampung Tengah dengan 2.141 jiwa.
Sesuai dengan semangat visi Gereja Keuskupan Tanjung Karang, penyuluhan tetap ditujukan untuk membawa Gereja, yang sebagai umat Allah (LG 9) bermusafir di dunia (LG 6) dan menjadi hamba melayani Kristus dalam saudara-saudarnya (LG 8) menuju pada persaudaraan yang sejati.
6. Merumuskan materi penyuluhan
Setelah mengenali situasi dan berbagai bentuk permasalahan yang terbentand di tengah umat/. Gereja Kabupaten Lampung Tengah, dirumuskanlah sejumlah materi yang diharapkan mampu menjembatani bahasa pemerintah dan bahasa gereja. Materi-materi ini dianggap bsa dicerna dengan baik tanpa praduga di benak masing-masing umat.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar