Minggu, 23 Februari 2014

Membangun Keluarga sebagai Sarana dan Pendukung dalam Pewartaan (contoh penyuluhan bagi keluarga)

DISUSUN OLEH: Emanuel Heru Kristanto, S.Ag, Penyuluh Agama Katolik, 
Kantor Kementerian Agama Kota Magelang


I. Doa & Lagu

II. Pertanyaan Sharing

    Sebagai orang tua bagaimana kita mendidik anak-anak didalam keluarga ?

III. Pembelajaran

A. Tantangan-tantangan Aktual

Dewasa ini keluarga-keluarga katolik menghadapi banyak tantangan aktual. Sebagian besar dari tantangan-tantangan itu berasal dari masyarakat luas. Sedang sebagian yang lain berasal dari lingkungan keluarga sendiri.

1. Tantangan dari masyarakat luas 

a. Tantangan dari masyarakat internasional.

Tantangan yang berasal dari masyarakat inter-nasional terutama berupa kecenderungan-kecenderungan tertentu yang muncul dalam proses globalisasi. Kecenderungan-kecende-rungan tersebut antara lain tampak di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Di bidang ekonomi, muncullah kecenderungan global yang menyebarkan sistem ekonomi pasar bebas ke segenap penjuru bumi. Sistem ekonomi yang mengutamakan kebebasan swasta untuk berdagang dan bersaing itu dipuji dan didukung di semakin banyak tempat. Padahal sistem ekonomi tersebut jelas-jelas melebarkan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, antara negara kaya dan negara miskin. Selain itu, sistem ekonomi tersebut juga mendukung konsumerisme dan menyebabkan kerusakan lingkungan alam dan lingkungan hidup. Di beberapa negara miskin, sistem ekonomi pasar bebas itu bahkan juga menimbulkan kecenderungan-kecenderungan negatif lain, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Di bidang politik, muncullah kecenderungan global yang menyebarkan sistem pemerintahan gaya Barat ke segenap penjuru bumi. Beberapa negara Barat bahkan memaksakan sistem politik semacam itu kepada negara-negara yang lain. Padahal, sistem pemerintah-an semacam itu tidaklah selalu sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Pengambilan keputusan dalam masyarakat tradisional Jawa, misalnya, lebih mengutama-kan mufakat melalui musyawarah daripada pengambilan keputusan melalui pemungutan suara. Di bidang budaya, muncullah kecenderungan global yang menyebarkan pop culture ke segenap penjuru bumi. Yang dimaksud dengan pop culture adalah budaya pop, budaya yang penampilan-luarnya cenderung “ke-Barat-Barat-an”. Meskipun budaya pop tersebut me-miliki beberapa unsur positif yang pantas di-hargai, budaya itu juga memuat beberapa unsur negatif yang perlu diwaspadai. Yang kiranya paling perlu diwaspadai adalah kecenderung-annya ke arah materialisme dan sekularisme. Kecenderungan ke arah materialisme itu jelas tidak selaras dengan budaya tradisional sebagi-an besar masyarakat kita, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerohanian. Sementara itu kecenderungan ke arah sekularisme juga tidak selaras dengan budaya tradisional masyarakat kita, yang bersifat religius.

b. Tantangan dari masyarakat nasional

Dewasa ini masyarakat Indonesia berada dalam masa reformasi di segala bidang. Dalam proses reformasi tersebut, muncullah beberapa tantangan sosial, misalnya di bidang ekonomi, politik, dan moral. Reformasi belum berhasil membawa per-baikan yang nyata di bidang ekonomi. Menurut data nasional, saat ini sekitar 50 juta orang Indonesia hidup dalam kemiskinan. Bangsa kita semakin tertinggal dari bangsa-bangsa yang sudah maju, antara lain karena bangsa kita cenderung mengikuti sistem ekonomi pasar bebas. Sudahlah terbukti bahwa sistem ekonomi pasar bebas cenderung melebarkan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, antara negara kaya dan negara miskin. Bangsa kita belum mampu ber-saing di pasar internasional. Ketidakmampuan bangsa kita itu antara lain disebabkan oleh kesalahan internal bangsa kita sendiri, yakni masih banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme. Reformasi juga belum membawa banyak perbaikan di bidang politik. Memang, di-bandingkan dengan masa pemerintahan Orde Baru, masa pemerintahan kita dewasa ini sudah jauh lebih demokratis. Media massa menikmati kebebasan yang cukup luas. Dewan Perwakil-an Rakyat memiliki kewenangan yang makin besar. Presiden dan pimpinan-pimpinan di daerah sudah dipilih oleh rakyat secara langsung. 

Meskipun demikian, kepentingan rakyat kecil belum terangkat secara semesti-nya. Lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif belum sungguh-sungguh berpihak kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir.

Reformasi sebenarnya dimaksud untuk mem-perbaiki masyarakat Indonesia secara me-nyeluruh, termasuk di bidang moral. Namun kenyataannya, belum ada tanda-tanda positif bahwa moral masyarakat kita bertambah baik. Habitus lama masih berlanjut. Kekerasan tetap terjadi di mana-mana, baik di rumah-rumah maupun di tengah-tengah masyarakat luas. Korupsi malah semakin menyebar, antara lain karena semakin kuatnya otonomi daerah. Kerusakan lingkungan alam dan lingkungan hidup samasekali belum berkurang. 

2. Tantangan dari lingkungan keluarga

Tantangan-tantangan yang ada di hadapan keluarga tidaklah hanya berasal dari masyarakat luas, melain-kan juga dari lingkungan keluarga sendiri, baik dari keluarga besar maupun dari keluarga inti. Yang dimaksud dengan keluarga besar adalah suami-istri, anak-anak, dan sanak saudara dari suami maupun istri, di manapun mereka berada. Sedang yang dimaksud dengan keluarga inti adalah suami-istri, anak-anak, dan sanak saudara yang tinggal serumah dengan mereka. 

a. Tantangan dari keluarga besar

Keluarga besar sebenarnya merupakan suatu sumber dukungan dan kesejahteraan bagi keluarga inti. Seluruh keluarga besar dapat memberikan dukungan kepada salah satu anggotanya yang sedang berada dalam kondisi lemah secara psikis, maka membutuhkan penguatan dan peneguhan. Seluruh keluarga besar dapat memberikan bantuan kepada salah satu anggotanya yang sedang berada dalam kondisi sulit secara finansial, maka mem-butuhkan pinjaman atau pemberian yang tulus. Meskipun demikian, keluarga besar juga dapat menimbulkan tantangan, misalnya bila anggota-anggota keluarga besar campur tangan ter-lampau jauh pada urusan keluarga inti. 

b. Tantangan dari dalam keluarga inti 

Berdasarkan angket Keuskupan Agung Semarang pada tahun 2006, berikut adalah beberapa tantangan yang dapat muncul dari dalam keluarga inti sendiri.

1. Tantangan dalam relasi antara suami dan istri

· Kurangnya transparansi antara suami dan istri.

· Kurangnya kerukunan antara suami dan istri.

· Kurangnya komunikasi antara suami dan istri. 

· Kurangnya kesetiaan suami/istri kepada pasangannya. 

· Kurangnya kesediaan berkorban dari suami/istri bagi pasangannya.

· Adanya kecemburuan dari suami/istri terhadap pasangannya.

· Adanya dominasi suami/istri atas pasangannya. 

· Adanya tindak kekerasan suami/istri terhadap pasangannya.

2. Tantangan dalam hal penghayatan iman 

· Kurang kuatnya iman semua/sebagian anggota keluarga.

· Kurang tepatnya pemahaman dan peng-hayatan sakramen perkawinan.

· Kurangnya kemampuan orangtua dalam mengembangkan iman anak-anak mereka.

· Kurangnya kemampuan keluarga meng-hadapi arus global yang sekularistik. 

3. Tantangan dalam hal ekonomi rumah tangga

· Kurangnya kemampuan suami-istri untuk mengelola ekonomi rumah tangga. 

· Kurangnya penghasilan keluarga untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

· Adanya beban hutang keluarga

· Sulitnya mencari pekerjaan.

· Kurang kuatnya kemampuan suami-istri menghadapi godaan konsumerisme.

4. Tantangan dalam hal relasi antara orangtua dan anak-anaknya

· Kurangnya keakraban antara orangtua dan anak-anak mereka.

· Ketidakpuasan anak-anak terhadap sikap atau kondisi orangtua mereka.

· Ketidakpuasan orangtua terhadap sikap atau kondisi anak-anak mereka.

NB: Tantangan-tantangan di atas tentu saja tidak hanya perlu diketahui dan dipahami, melainkan juga perlu ditanggapi dengan mencari solusi yang tepat atasnya. 

B. Konsekwensi atas Perkawinan

Menurut ajaran Gereja Katolik, tujuan perkawinan salah satunya adalah diarahkan pada keturunan dan pendidikan anak-anak mereka. Gereja Katolik berharap bahwa dua orang yang menikah sama-sama mau dan mampu menurunkan dan mendidik anak-anak. 

Setiap keluarga Katolik yang diikat didalam Sakramen Perkawinan dipanggil dan diutus menjadi tempat pendidikan yang utama dan pertama disanalah anak-anak mulai dididik dalam segala hal yang baik. Maka pendidikan orang tua terhadap anak-anaknya tidak pernah tersaing maupun tergantikan

Oleh rahmat Sakramen Perkawinan, mereka menjadi mampu mencintai satu sama lain sebagaimana Kristus telah mencintai kita. Mereka kemudian menjadi tanda dan peringatan yang tampak dan kelihatan cinta pengorbanan Kristus kepada seluruh umat manusia. Di bawah rencana Allah, perkawinan juga merupakan dasar komunitas yang lebih luas, yaitu keluarga. Cinta seksual, disamping memperdalam dan memperkuat persatuan diantara mereka, memberikan juga kemampuan kepada suami – isteri untuk bekerjasama dengan Allah dalam memberi kehidupan kepada pribadi manusia ( keturunan ) yang baru. Atau dengan kata lain tugas, kewajiban dan tanggung jawab untuk mendidik anak ini berasal atau berakar atau berdasar pada panggilan suami – istri untuk berpartisipasi pada karya penciptaan Allah: menurunkan manusia baru, juga dalam arti mempertumbuhkannya dan memperkembangkannya ( FC 36 ).

1. Peranan Keluarga dalam pendidikan iman

Keluarga secara tepat digambarkan sebagai Gereja Domestik. Oleh karena itu, keluarga mendapat tugas meneruskan iman dan nilai-nilai Kristiani kepada generasi yang berikutnya. Oleh karena orang tua meneruskan kehidupan kepada anak-anaknya, maka para orang tua mengemban tugas mahaberat : mendidik anak dan sebab itu mereka harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama ( GE 3 ). 

Rumah sebagai sekolah yang tepat untuk hidup. Ada beberapa hal yang esensial yang hanya dapat dipelajari dirumah, misalkan : belajar mencintai dan dicintai; keamanan dan penerimaan; hormat terhadap otoritas; membedakan mana yang benar dan mana yang salah; disiplin, tanggung jawab dan kontrol diri. Anak pertama kali mengalami cinta di dalam rumahnya; menemukan rasa aman dan penerimaan diri siapa dia laki-laki atau wanita, sehingga ia mulai mencintai dirinya sendiri, yang memberikan dasar untuk mencintai orang lain. Orang tua adalah otoritas pertama. Penghormatan terhadap orang tua juga merupakan basis untuk menghormati otoritas-otoritas yang lain. Bagaimana anak-anak menghormati orang tua, menentukan bagaimana pula mereka menghormati bentuk-bentuk otoritas yang lain diluar rumah. Dengan melihat contoh perilaku dan sikap orang tuanya, anak-anak dapat belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Oleh karena itu peranan kesaksian kehidupan iman orang tua dalam memperkembangkan iman anak-anaknnya adalah sangat vital. Dan inilah sebenarnya metode yang paling efektif dalam pendidikan iman ( juga dalam hal-hal lain ) di dalam keluarga yakni dengan contoh kongkret kehidupan iman orang tuanya serta anggota keluarga yang lain yang hidup serumah. 

Memang kita sadari juga bahwa hidup iman bukanlah sesuatu yang secara khusus diisi kedalam anak oleh ayah dan ibunya. Iman itu pertama-tama adalah suatu anugerah Allah yang berkembang mengikuti irama hidup seseorang dan kehidupan sekitarnya. Namun perkembangan iman tidak terjadi secara otomatis, tetapi sungguh suatu buah hasil proses yang dihayati dengan seluruh kehendak bebasnya dan rahmat Tuhan. Maka dalam rangka proses inilah, peranan orang tua atau keluarga menjadi penting. Dengan menghargai anugerah kebebasan pribadi, orang tua mengarahkan anaknya kepada hidup sebagai orang beriman, sedemikian rupa sehingga akhirnya anak sendirilah merasa bahwa iman itu sebagai yang dipilihnya sendiri secara bebas. Ayah dan ibu bertindak seperti itu karena timbul dari kasih kepada anak-anaknya dan demi keselamatan anak-anaknya pula.

2. Pendidikan Iman dari orang tua

Hak dan tugas orang-tua untuk memberikan pendidikan ini adalah esensial karena berhubungan dengan penerusan hidup baru, orisinal dan primer, karena tidak dapat digantikan, tidak dapat diambil alih oleh siapapun. Dasarnya adalah cinta kasih orang tua ( FC. 36 ). Misi untuk mendidik putra-putinya ini, suatu misi yang mempunyai akarnya dari partisipasi keluarga dalam karya penciptaan Allah, mempunyai sumber khusus dalam Sakramen Perkawinan, adalah membantu anak-anak agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia dewasa secara manusiawi dan Kristiani ( FC. 38 ) Meneruskan keturunan tidak hanya dalam arti kuantitatif, namun juga dalam arti kualitatif dengan mendidiknya secara bertanggung jawab.

Keluarga adalah sekolah fundamental bagi anak-anak dibidang kehidupan social sehari-hari ( FC. 37 ). Atau dengan kata lain Keluarga adalah pusat katekese sacramental ( Paus Johanes Paulus II, Ad Limina Uskup-uskup USA, 24-9-1083 ). Pengembangan iman sebenarnya tidak hanya terjadi dengan katekese eksplisit dengan kata – kata atau dengan mengajar secara instruksional saja, melainkan lebih-lebih didalam Keluarga adalah dengan kesaksian hidup keagamaan ibu dan ayahnya sendiri ( FC. 38 – 39 ). Para orang tua yang pertama-tama memperkenalkan Tuhan kepada anak-anaknya. Ayah duniawi hendaknya mencerminkan Bapa Surgawi. Dalam hubungan ini orang tua adalah guru ( mengajar ) dan ibu ( mempertumbuh – kembangkan serta ikut memelihara ) dalam bidang iman bagi putera dan puterinya. Orang tua adalah pelayan Gereja, sehingga iman diteruskan dari generasi ke generasi melalui keluarga. Disini Orang tua tidak hanya melihat anak sebagai anak-anak mereka sendiri, tetapi hendaknya juga melihat mereka sebagai anak-anak Allah, saudara dan saudari Yesus, bait Allah Roh Kudus dan anggota Gereja. 

Keluarga sebagai Gereja Mini dapat merupakan saluran iman dan tempat inisiasi Kristen dimulai yakni memperkenalkan dan menghidupi misteri iman secara misteri keselamatan yang terjadi dalam perayaan Liturgi atau perayaan-perayaan sakramen dan yang terjadi melalui peristiwa-peristiwa hidup sehari-hari. Keluarga kemudian menjadi sekolah mengikuti Yesus dan menjadi pusat katekese sacramental bagi anak-anaknya. Orang tualah yang pertama-tama memperkenalkan Allah. Keluarga dipanggil secara aktif untuk ambil bagian dalam mempersiapkan putera dan putrinya untuk menerima Sakramen Baptis, Komuni pertama dan juga penerimaan Sakramen Tobat yang pertama. Malah orang-tua dimohon untuk ikut ambil bagian dalam program-program persiapan perkawinan bagi anak-anak yang sudah dewasa. Pendidikan cinta sebagai penyerahan diri, juga tidak boleh dilupakan. Orang tua diharapkan dapat mendidik anak-anaknya dalam bidang seksualitas secara benar, sopan dan hati-hati. Dalam konteks ini pendidikan kemurnian adalah sangat esensial pula ( FC. 37 ). Dalam hal ini sekolah juga diharapkan ikut ambil bagian dalam kerjasama dengan orang tua ( FC. 37 ). Pendidikan teoristis tentu penting agar remaja mempunyai pandangan yang positif dan menyeluruh mengenai seksualitas. Namun contoh nyata orang dewasa – terlebih orang tua sendiri lebih penting karena contoh hidup adalah cara mendidik yang efisien bagi putera-puterinya, keterbukaan dan kerjasama antara orang tua dengan para pendidik lain, yang sama-sama mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan kaum muda, akan dapat secara positif mempengaruhi kedewasaan kaum muda. 

3. Keluarga menjadi Gereja kecil 

Gereja berharap bahwa semua anggota keluarga katolik berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan keluarga mereka sebuah Gereja kecil, sebuah paguyuban umat beriman, seperti digambarkan dalam kitab Kisah Para Rasul (2:41-47 dan 4:32-37). Harapan Gereja itu antara lain diungkapkan secara jelas oleh Paus Yohanes Paulus II dalam seruan apos-toliknya Familiaris Consortio. Di sana ditegaskan beberapa hal berikut (FC 49-64). 

a. Keluarga yang guyub

Sebuah keluarga katolik hanya layak disebut sebagai gereja kecil bila keluarga itu diwarnai oleh suasana guyub, sehingga mewujudkan sebuah communio. Artinya: komunitas yang rukun dan akrab, berdasarkan hormat dan kasih. Juga bila kadang-kadang ada konflik, konflik itu diselesaikan dalam semangat dan suasana hormat dan kasih, bukan dalam suasana emosi yang tak terkendali.

b. Keluarga yang dijiwai oleh iman

Sebuah keluarga katolik juga hanya layak disebut sebagai Gereja kecil bila hidup semua anggotanya dijiwai dengan iman, yang terutama ditandai oleh sikap hormat dan kasih kepada Kristus dan Gereja-Nya. Iman mereka hendak-nya diyakini, dipahami, diungkapkan, dirayakan, diwartakan, dan diamalkan secara terus-menerus, baik di dalam maupun di luar rumah. 

C. Peranan Keluarga dalam Hidup Menggereja dan Masyarakat

1. Keluarga ikut membangun Gereja 

Dalam seruan apostoliknya yang berjudul Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II juga menekankan peran keluarga katolik sebagai sel pembangun Gereja (FC 49-64). Peran penting tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. 

a. Ikut membangun Gereja setempat

Keluarga katolik tidak dapat dan tidak boleh hanya peduli pada kepentingannya sendiri. Ia bukanlah sebuah pulau tersendiri yang terpisah jauh dari pulau-pulau yang lain. Ia merupakan sel terkecil dari Gereja yang lebih luas, yakni Gereja se-lingkungan, Gereja se-wilayah, Gereja se-paroki, Gereja se-keuskupan. Karena itu, keluarga katolik diharap ikut terlibat dalam kehidupan beriman umat setempat, sekurang-kurangnya di lingkungan, wilayah, dan parokinya. 

b. Berkembang bersama umat se-keuskupan

Setiap keluarga katolik yang hidup dan bertempat tinggal di wilayah Keuskupan Agung Semarang diharap berkembang bersama umat se-keuskupan. Hal itu antara lain berarti bahwa semua anggota keluarga katolik diharap mengembangkan kehidupan iman mereka selaras dengan Arah Dasar Keuskupan Agung Semarang, yang diterbitkan setiap lima tahun sekali. 

2. Keluarga ikut membangun masyarakat

Gereja tidak hanya melihat keluarga sebagai sel pembangun Gereja, melainkan juga sebagai sel pembangun masyarakat. Hal itulah yang juga ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II melalui seruan apostoliknya Familiaris Consortio. Tentang peran penting ini, hal-hal berikut kiranya pantas diperhatikan (FC 42-48). 

a. Ikut membangun masyarakat setempat

Setiap keluarga, termasuk keluarga katolik, merupakan sel terkecil dari masyarakat luas. 

Karena itu, setiap keluarga katolik diharap ikut membangun masyarakat luas, baik di tingkat rukun tetangga, rukun warga, maupun kota/kabupaten. Sebagai sel terkecil dari masyarakat luas, keluarga katolik diharap memberikan sumbangan positif dalam pembangunan masyarakat luas. Berdasarkan amanat Injil, keluarga katolik diharap menjadi “garam yang mengasinkan” dan “pelita yang menerangi” masyarakat di sekitarnya. Dalam kaitan dengan amanat suci ini, keluarga katolik diharap ikut mengambil bagian aktif dalam usaha seluruh masyarakat Indonesia untuk menentang dan mengatasi korupsi, kekerasan, dan kerusakan lingkungan hidup. 

b. Bersikap tepat terhadap masyarakat

Proses globalisasi se-dunia dan proses reformasi se-tanah-air membawa pengaruh pada seluruh masyarakat di Indonesia, termasuk umat di Keuskupan Agung Semarang. Menyadari adanya pengaruh positif dan negatif dari proses-proses tersebut, semua keluarga katolik di Keuskupan Agung Semarang diharap mau dan mampu mengambil sikap yang tepat terhadap masyarakat, yakni dengan cara: memanfaatkan yang positif dan menolak yang negatif. 



IV. Pertanyaan dan pengendapan 

1. Bagaimana kita sebagai pribadi maupun sebagai keluarga mengalami Tuhan ?

2. Bagaimana kita mesharingkan iman kita dengan anggota keluarga kita yang lain ? Apakah anda lakukan secara individual.

3. Apa tugas dan tanggung Jawab kita sebagai keluarga ?

4. Bagaimana cara kita menumbuhkan rasa Saling pengertian dalam keluarga ?

5. Bagaimana cara kita meningkatkan semangat pelayanan terhadap Gereja dan Masyarakat ?

V. Doa Penutup & Lagu Penutup


DAFTAR PUSTAKA

Nota Pastoral KAS, Menjadikan Keluarga Basis Hidup Beriman, Dewan Karya Pastoral KAS, 2007

Iman Katolik,KWI,Kanisius-Obor,Yogyakarta 2003

Alkitab, LAI,Jakarta 1974 

Dokumen Konsili Vatikan II,R.Hardawiryana,SJ,KWI,Obor,Jakarta 1993

Suami-Istri Katolik Memahami Panggilan Dan Perutusannya, Rm. Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Komisi Pendampingan Keluarga KAS, 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar