Senin, 12 Mei 2014

Revolusi Doa (Sindhunata)

KITA memerlukan pemimpin yang taat beragama, yang bisa membawa perbaikan moral bangsa. Begitu dikatakan mantan Wakil Presiden Hamzah Haz baru-baru ini. Hamzah Haz juga menyarankan perlunya dibangun lebih banyak tempat ibadah, agar semakin banyak orang berdoa sehingga semakin banyak pula orang yang memiliki moral yang baik.
Hamzah Haz tidak keliru jika ia menghubungkan doa dan moral yang baik. Hanya masalahnya, doa manakah yang bisa membuahkan moral yang baik? Pertanyaan ini kebetulan juga sedang digeluti sejumlah sarjana antropologi dan teologi Islam maupun Kristen. Pergulatan mereka dikumpulkan di bawah tema "Prayer, Power, and Politics" dalam jurnal Interpretation, Januari 2014.

Para antropolog kultural memahami doa sebagai aktivitas ritual. Dari sudut kultural, ritus adalah kesempatan, di mana orang menjalin hubungan baik dengan kelompoknya, maupun realitas sosialnya, termasuk kekuasaan. Sementara karena pada hakikatnya kekuasaan selalu relasional, kekuasaan mau tak mau juga memengaruhi ritus dan dirasakan secara riil oleh mereka yang menjalankan aktivitas ritual itu. Di situlah terletak hubungan antara doa dan kekuasaan. Dengan pendekatan di atas, Rodney A Werline, profesor studi agama-agama di Barton College, North Carolina, meneliti bagaimana doa-doa dihidupi tokoh-tokoh Kitab Suci Perjanjian Lama, seperti Hannah, Ruth, Salomo, dan Daniel. Dari penelitiannya terlihat doa terjadi dalam cakupan relasi sosial dan historis yang amat luas.

Doa bisa berfungsi sebagai dinamika keluarga, sebagai ekspresi cinta di antara sahabat, sebagai ratapan orang jujur yang tidak bersalah tetapi menjadi korban, sebagai teguran pemuka agama terhadap umatnya dan sebagai upaya bagaimana mengobati luka sosial umatnya, sebagai jalan bagi para pemimpin untuk menjalankan kepemimpinannya, juga sebagai jalan menentang kekuasaan represif.

Kekuasaan sendiri bukanlah jelek atau baik. Namun, kekuasaan bisa digunakan untuk membangun hidup atau merusak hidup masyarakat. Karena terjalin dengan kekuasaan dalam sebuah realitas sosial dan kultural, doa juga bisa dijadikan jalan untuk membangun hidup, tetapi doa pun bisa dimanfaatkan untuk merusaknya. Ini semua berarti, doa tak pernah bisa dilepaskan dari etika.

Radikalitas doa
Lex orandi, lex credendi: bagaimana kita berdoa, itu menentukan bagaimana kita beriman dan percaya. Aksioma tersebut menegaskan bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum iman sangatlah ditentukan oleh bagaimana kita berdoa. Seperti dipaparkan Nico Koopman, profesor teologi sistematik dan etika di Universitas Stellenbosch, semasa rezim apartheid di Afrika Selatan, aksioma itu diperluas menjadi lex orandi, lex credendi, dan lex (con)vivendi. Artinya, bagaimana kita berdoa tidak hanya menentukan bagaimana kita beriman, tetapi juga bagaimana kita hidup, bahkan bagaimana kita hidup bersama.

Di Afrika Selatan semasa rezim apartheid, doa dan upacara agama memang menjadi ambivalen. Doa bisa untuk menindas ataupun untuk membebaskan. Di bawah rezim represif, doa dan iman bahkan dilegitimasikan secara teologis untuk melestarikan penindasan. Karena itu, doa juga perlu dikoreksi secara etis.

Maka, doa harus dibebaskan dari cengkeraman rezim represif, lalu dijadikan kekuatan untuk meraih terjadinya masyarakat baru yang bebas dari penindasan. Doa harus bisa menjadi kekuatan kritis untuk mendobrak masyarakat yang tidak adil. Di sini, seperti diajakkan filsuf Nicholas Wolterstorff dari Amerika Serikat, kita perlu memahami kesucian itu bukan semata-mata dari kategori kesucian sendiri, tetapi juga dari kategori keadilan.

Kata Wolterstorff, masyarakat yang tidak adil adalah masyarakat yang kehilangan keutuhannya. Dalam masyarakat ini sekelompok orang tersudut di pinggiran, dan tak terinkorporasikan ke dalam kehidupan yang sedang berkembang dalam masyarakat itu. Masyarakat demikian bukanlah citra atau cerminan dari Tuhan dalam keutuhan-Nya. Dalam keutuhan-Nya yang komunitarian, Tuhan tidak mengecualikan siapa pun. Karena itu, masyarakat yang tidak adil dan mengecualikan itu adalah masyarakat yang tidak suci. Maka, masyarakat baru yang kita cita-citakan hendaklah menjadi masyarakat kesucian dan keutuhan, masyarakat di mana terjadi integritas dan komunitas, inklusi dan pemerataan keadilan, serta kesatuan hidup yang subur berkembang.

Doa Kristiani sesungguhnya selalu merindukan datangnya masyarakat semacam itu. "Datanglah kerajaan-Mu", itulah yang didoakan mereka dalam doa Bapa Kami, seperti diajarkan oleh Yesus sendiri. Maka, ahli kitab suci Afrika Selatan, William Domeris, mengungkapkan, datanglah kerajaan-Mu itu adalah sebuah doa revolusioner. Doa ini menyerang jantung kejahatan di dunia, dan memaklumkan matinya segala macam bentuk penindasan, serta mengharap datangnya kerajaan baru di dunia. Dengan mendoakan "datanglah kerajaan-Mu", orang menatap berakhirnya zaman penindasan ini, dan pada saat yang sama, seperti diajakkan Yesus, bersama-sama mengusahakan tegaknya kerajaan baru sebagai realitas fisik, di mana penindasan diakhiri dan pembebasan Tuhan dimulai. Mendoakan "kedatangan kerajaan Tuhan" adalah melantunkan doa melawan pemerintah yang tidak adil.

Melawan kemungkaran
Jelas doa pada hakikatnya berhubungan dengan realitas sosial, pembebasan, dan keadilan. Menurut Mun'im Sirry dan A Rashied Omar, asisten profesor teologi dan peneliti studi Islam pada Universitas Notre Dame, Indiana, hakikat doa macam ini juga menjadi hakikat doa dalam tradisi Islam. Menurut kedua sarjana Islam itu, tidaklah benar anggapan bahwa Islam lebih menekankan tata cara doa sebagai praktik formalitas doa belaka, hingga doa itu tak bisa membawa transformasi moral bagi pelakunya. Sarjana-sarjana Islam modern menentang keras anggapan itu dengan berusaha menunjukkan adanya makna sosial dalam doa Islam.

Sirry dan Omar sendiri mengemukakan pendapatnya dengan bertolak dari ayat Al Quran 29:45: "Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya daripada ibadat-ibadat lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Menurut kedua sarjana Islam di atas, berabad-abad lamanya sejak adanya agama Islam, raison d'être dari doa Islam adalah menjauhi fasha (ketidaksenonohan, ketidaklaziman, kekejian) dan mungkar. Selain Al Quran dan hadis, banyak kisah dan telaah yang menegaskan hakikat doa demikian itu. Misalnya, ada kisah di mana seorang pemuda dari Madinah berdoa bersama Nabi Muhammad. Toh, pemuda itu tetap melakukan perbuatan yang salah dan tidak pantas. Nabi Muhammad hanya menanggapi hal itu dengan kata-kata ini: "Doanya akan mencegah dia untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas." Nabi juga pernah ditanya, "Apakah pendapat Anda tentang seseorang yang berdoa di siang hari, tapi menjadi pencuri di malam hari?" Nabi kembali menjawab, "Doanya akan menahan dia untuk berbuat yang tidak baik."

Tampaknya Nabi Muhammad yakin, doa pasti mengubah seseorang. Jika orang tidak diubah oleh doanya, doanyalah yang kiranya kurang benar. Karena itu, doa atau shalat tidak dengan sendirinya mencegah orang untuk berbuat fasha dan mungkar. Kemungkaran itu baru bisa dicegah apabila doa itu dijalankan dengan benar, penuh komitmen, kejujuran, ketulusan, dan kepasrahan bahwa Allah akan membantu manusia dalam memperjuangkan kebaikan dan memberantas kejahatan.

Kata ahli tafsir Al Quran, Muhammad Husyan Tabatabai, jika shalat dijalankan dengan komitmen dan kejujuran, lebih dari institusi atau pengajar mana pun, shalat sendirilah yang akan melatih orang dengan lebih baik untuk menjalankan kebajikan dan menolak kejahatan. Ini dibenarkan oleh hadis yang berkata, orang yang doanya tak mencegah dia melakukan ketidaklaziman dan kesalahan tak akan memperoleh tambahan dari Tuhan; ia hanya akan makin jauh dari-Nya.

Menegur pemimpin
Hamzah Haz yang juga sesepuh PPP itu bicara soal doa karena gemas terhadap kondisi moral bangsa yang terus merosot. Setiap warga negara Indonesia kiranya juga gemas seperti dia. Kita adalah negara ber-Tuhan dan beragama. Mestinya kita juga warga negara yang pendoa. Memang, setiap hari Jumat masjid-masjid penuh, setiap hari Minggu gereja-gereja penuh, pada hari-hari raya agama umat berbondong-bondong berdoa dengan khusyuk. Tetapi mengapa korupsi merajalela, meracuni lembaga mana pun, eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pejabat-pejabat mengkhianati kepercayaan rakyat dan kehilangan rasa malunya.

Mengapa doa tidak berefek bagi kebaikan moral bangsa? Dari penjelajahan singkat mengenai tradisi doa di atas, kita bisa menjawab: doa kita mandul karena terpisah dari masalah-masalah etika, sosial, dan moral yang dihadapi bangsa. Doa melulu menjadi praktik formal-ritual yang tidak bersentuhan dengan permasalahan masyarakat. Doa hanya menjadi kesalehan yang steril terhadap masalah sosial.

Dalam doa macam itu kita menemukan kenyamanan dan kemapanan, dan kehilangan kepedulian sosial. Lebih fatal lagi, doa macam ini membuat kita munafik, seakan-akan kita sudah menjadi baik karena sudah berdoa, tanpa ingin memberantas kemungkaran yang ada di sekitar kita. Doa tak lagi memberi kita kekuatan dan inspirasi untuk menggugat dan mendobrak segala bentuk represi yang menimpa banyak orang, lebih-lebih mereka yang miskin dan sederhana.

Mengapa kita sampai terjerumus ke dalam keadaan demikian? Doa memang bersifat pribadi. Tetapi kita tahu, penghayatan kita terhadap doa juga tergantung pada para pemuka umat, pemimpin jemaat, imam, ustaz, kiai, pendeta, atau pastor. Dari mereka-mereka itulah kita belajar berdoa. Karena itu merekalah yang paling berkewajiban mengajari kita bagaimana berdoa dengan benar.

Misalnya, dengan mendalami lagi tradisi doa yang diajarkan Al Quran dan Kitab Suci, di mana Tuhan menghendaki agar jika berdoa janganlah kita melepaskan diri dari masalah kemanusiaan, masalah sosial, lebih-lebih masalah mereka yang miskin dan menderita. Kalau itu tidak dilakukan, patutlah kita curiga, para petinggi doa itu diam-diam sedang menikmati kemapanan, dan mendukung penguasa yang benci terhadap kekuatan doa yang memberi inspirasi orang untuk menggugat dan mendobraknya. Kita mendengar, calon presiden dari PDI Perjuangan, Jokowi, bercita-cita mengadakan revolusi mental. Revolusi mental itu kiranya akan makin efektif jika disertai revolusi doa. Artinya, bagaimana doa kita dilepaskan dari sangkar keamanan dan kemapanan individualnya, dibebaskan dari kepentingan untuk membenarkan kelompok-kelompok tertentu saja hingga menjadi eksklusif terhadap kepentingan seluruh bangsa. Revolusi doa itu kiranya perlu membangunkan kesadaran moral, sosial, dan etika dalam doa yang dihayati warga negara.

Untuk itu, revolusi mental dan doa itu kiranya harus dimulai dari para pemimpin bangsa. Sebab, seperti dikatakan Hassan al-Banna, pendiri Persaudaraan Muslim di Mesir, paling tidak dalam tradisi Islam, doa itu seperti latihan harian dalam organisasi sosial dan praktis. Begitu muazin menyerukan doa dimulai, umat berkumpul, mereka punya hak dan kewajiban sama, tetapi mereka berdiri di belakang imam yang mengatur ketertiban dan kesatuan mereka. Imam itu pemimpin. Kalau ia salah dalam memimpin, umat berhak dan wajib menegurnya. Itulah demokrasi dalam doa. Para pemimpin kita ibarat imam itu. Kalau mereka salah berdoa, kita pun ikut salah dalam doa kita. Jangan-jangan inilah sebabnya mengapa kita terjerumus ke dalam kemerosotan moral, yakni karena para pemimpin kita tidak pernah berdoa, agar kekuasaannya digunakan untuk melayani rakyat dan tidak untuk memperkaya diri sendiri. Kalau demikian, doa dan mental merekalah yang terlebih dahulu harus direvolusi. Memang bisa-bisa kemungkaran yang harus dibongkar oleh doa dari bangsa ini adalah mental busuk, egois, dan korup para pemimpin bangsa kita sendiri.

Sindhunata
Wartawan, Pemimpin Redaksi Majalah Basis, Yogyakarta

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000006472367
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar