Selasa, 28 Januari 2014

Contoh Model Pertemuan Bimbingan Penyuluhan dan Pembangunan (Vero P)

Artikel oleh Veronica P. S.Pd (III/d) dengan NIP 150 301 290
(Penyuluh Agama Katolik Kabupaten Kuningan)
==========================================
(Sasaran : Ibu-Ibu Wanita Katolik dan Umat di lingkungan)

1.       Tema           : PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM GERAJA
2.       Tujuan :
Pertemuan ini bertujuan agar peserta melihat dan menempatkan perempuan sesuai dengan keberadaannya dan segala potensi yang dimilikinya pada posisi yang benar.

3.       Pemikiran Dasar :
a.       Perempuan memiliki potensi dan talenta yang perlu dimanfaatkan dengan baik.
b.      Kenyataannya talenta dan potensi pada perempuan kurang dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaa dirinya dan orang lain.
c.       Baik dalam sejarah Gereja sepanjang masa maupun dalam sejarah dunia, peranan perempuan dalam kehidupan sangat besar. Ia bisa membangun dunia dan masyarakat, tetapi juga bisa menghancurkan kehidupannya sendiri dan kehidupan orang lain.
d.      Perempuan dari kodratnya memberikan hirup baru kepada manusia.

4.       Pembukaan : Doa
Ya Tuhan alangkah senangnya kalau boleh memiliki kehendak yang kuat. Kami teringat akan orang-orang yang memiliki kamuan keras membaja. Mereka terus berusaha membangun dunia. Diantara mereka terdapat juga banyak perempuan yang mempunyai kemampuan dan kehendak kuat untuk menyelamatkan dunia ini. Maria Bunda Putra-Mu dan Bunda kami adalah Putra-nya. Engkau mengganjar dengan mengangkatNya ke surga dengan jiwa dan raga. Kami mohon dengan perantaraan Bunda perkasa ini agar kami dianugerahi kekuatan dan ketabahan dalam memperjuangkan keberanian dan keadilan. Salam Maria.............

5.       Pengantar Pemandu
Saudar aterkasih, dalam pertemuan ini, kita akan melihat secara khusus posisi perempuan dalam Gereja. Mengapa? Karena permasalahan gender ini lebih banyak menyangkut perempuan. Bagaimana Gereja atau umat beriman menempatkan perempuan dalam status yang sebenarnya? Untuk itu kita mencoba mendiskusikan sebuah kasus yang dialaminya oleh Ibu Ari.

KISAH IBU ARI

Ibu Ari, siapa yang tidak mengenalnya? Sejak masih kuliah, dia sudah aktif di mana-mana : di kampus, di paroki, di masyarakat. Dia memang menyenangkan sehingga pertemuan-pertemuan menjadi terasa kurang lengkap tanpa dia. Wisma Mahasiswa itu terasa sepi kalau dia tak hadir. Berada di sekitarnya bukan karena tertarik pada gagasan-gagasannya yang kreatif dan kerjasama yang rapi, tetapi orang senang karena dia pandai berbicara. Tak hanya pembicaraan  yag berat dan serius, tetapi juga humor-humornya yang segar membuat orang tidak merasa rugi untuk menghabiskan waktu bersama dia. Itulah sebabnya dia mendapat nama kedua : Woro Criwis.
       Perkawinanya tidak membuatnya berubah. Kalau dia boleh disebut seorang ratu, dia bukan hanya ratu rumah tangga : kegiatan-kegitannya membuat namanya dikenal sampai di lua batas paroki, kota, keuskupan dan priponsi tempat tinggalnya.
       Tugas pokoknya adalah menjadi guru Matematika di SMA. Tetapi waktu-waktu kosongnya dipakai untuk membaca banyak buku yang menyangkut kehidupan sosial. Kegiatan-kegiatan sosialnya menjadikan kegemaran membacanya sebagai pemenuhan kebutuhan sehingga ia tidak hanya menjadi orang yang suka ikut-ikutan, tetapi memiliki pendapat, pemikiran, bahkan merumuskan dan meawarkan gagasan, menentukan langkah dan mengevluasi perubahan yang terjadi.
       Kini kedua anaknya sudah besar. Ria anak yang kedua yang kuliah di Fakultas Sosial dan Politik nampaknya tak kalah aktif dibandingkan ketik ibu Ari masih muda. Dan yang menarik adalah anak perempuannya ini dapat dijadikan teman diskusi yang memperkaya. Sudah berapa lama anaknya pulang dan membawa cerita tentang bagaimana dia dan teman-temannya mengembangkan studi tentang perempuan. Dia pun ikut tertarik. Pelan-pelan dia sadari bahwa ada masalah besar di kalangan perempun bangsanya. Dalam perjalanannya ke Bali yang terakhir, perempuan-perempuan yang menjadi kuli bngunan di jalan yang disaksikannya telah mengusik hatinya. Gambaran perempuan dengan pakaian dekil, mengangkat beban berat itu kerap kali muncul di benaknya. Sudah hampir dua semester ini berbagai bahan bacaan tentang perempuan di lalapnya. Ketika adiknya yang mau pulang dari belajar di Amerika menanyakan oleh-oleh yang diinginkan, satu jawabannya ialah buku-buku tentang gerakan perempuan.
       Dia merasa bahwa di dalam hatinya timbul sesuatu yang mengganggu, menentang dan sekaligu mendorong untuk berbuat sesuatu. Dia merasakan tumbuhnya kepekaan baru. Dia jadi mudah tersinggung bila ada berita tentang perempuan yang dilecehkan. Dalam sebuah perjalanan, untuk mengisi waktu, dia membaca “Bekisar Merah” – nya Ahmad Tohari. Dia menitikkan air mata. Apa yang diderita oleh Lasi itu adalah lambang penderitaan banyak sekali perempuan di Indonesia. Juga, kematian Srintil Ronggeng Dukuh Paruk dari penulis yang sama dan Buku Jantera Bianglala adalah kisah nyata yang masih dengan mudah dapat didengar jaman ini. Akan tetapi semuanya dirasakan belum encukupi. Dia ikut beberapa seminar tentang perempuan dan disana ia mengenal teman-teman baru.
       Anak-anaknya sudah beranjak dewasa. Suaminya juga tidak banyak rewel. Dia punya cukup waktu untuk mematangkan gagasannya. “Aku harus memulai,” itulah kata-katanya pada suatu hari. Maka ia mulai bergabung dengan kelompok-kelompok yang aktif dalam gerakan ini. Di sana dia menemukan bekas muridnya. Dia senang. Hanya saja kalau sendirian di rumah dia merasa begitu sepi. Di beberapa kegiatan yang diikuti, dia lebih banyak menemukan pemikir-pemikir serta aktivis vokal yang masih muda, hampir tidak ada yang seumur. Juga tidak ada yang seagama dengannya, Maka dia putuskan untuk menawarkan gagasannya ini kepada teman-teman di paroki dan diorganisasi Wanita Katolik.
       Dia temui beberapa teman. Tanggapannya berbagai macam. Sekian banayk tanggapan itu dia catat baik-baik. Ibu sutanto, misalnya, dosen Akutansi di Universitas Katolik, semula nampak berminat, bahkan sekali pernah mengundang ke rumahnya. Setelah beberapa kali bertemu, Bu Tanto mengatakan, “Ah jeng, mbok jangan aneh-aneh. Kodrat perempuan kan memang begitu. Dia kan memang harus tunduk pada suami, mendidik anak dengan baik. Kalaupun dia bekerja, itu kan hanya untuk keluarganya. Lihat to, nama kita ini. Sejak kawin kan orang tidak memandang saya “Sri”. Saya lbih dikenal dengan ‘Ibu Sutanto”. Kitab Suci saja mengatakan ,”Hai istri, tunduklah kepada suamimu, seperti kepada tuhan, karena suami adalah kepala istri sama seperti Kristus kepala jemaat..... (Lih Ef 5:22). Dan lagi, kita ini kan memang hanya pembantu suami. Panggilan kita adalah di dalam keluarga. Itulah sbabnya sejak dulu saya tidk masuk organisasi-organisasi gereja. Bukankah Kitab Suci sendiri mengatakan ,” Sama seperti semua jemaat orang-orang kudus, perempuan-perempuan harus berdiam diri dalam pertemun-pertemuan jemaat. Sebab mereka tidak diperbolehkan untuk berbicara. Mereka harus menundukkan diri, seperti yang dikatakan juga oleh Hukum Taurat. Jika mereka ingin mengetahui sesuatu, baiklah mereka menanyakan kepada suaminya di rumah. Sebab tidak sopan bagi perempuan untuk berbicara dalam pertemuan jemaat (1 Kor 14:34 – 35)
       Ibu Ari terkejut sekali dengan jawaban itu, Lalu dia bertanya, “Lo, tetapi ibu kan seorang dosn...?” “Iyah jeng, semua itu kan untuk cari tambahan nafkah, untuk pendidikan anak-nak yang sekarang ini semakin mahal dan lagi suami kan juga senang kalau kita bisa ikut ‘urun-urun” Ini lho Jeng, saya kira lebih menarik, beberapa ibu merencanakan untuk ziarah ke Laourdes. Mereka sudah mengumpulkan uang. Sekarang tinggal mencari seorang untuk mengorganisasikannya. Anda kan selama ini pintar berorganisasi. Bergabung ya....?
       Pembicaraan itu terekam lama di hatinya. Tetapi Ibu Ari tidak tinggal diam. Dia temui ibu Mira yang selam ini terkenal sebagai pengusaha katering yang berhasil. Memang ibu Mira juga berminat. Bahkan dalam perjalanan ziarah ke Sendangsono, bulan Mei yang lalu, dia sempatkan untuk duduk di samping bu Ari. Di dengarnya gagasan-gagasan Bu Ari seperti seorang anak mendengarkan gurunya. Ini sebuah kisah yang lain dari pada kehidupan sehariannya melayani pesanan. Ini juga hal baru selama sekolah di IKIP jurusan Tata Boga tak pernah didengarnya. Dia tertarik pada kisah tentang perempuan di Muangthai yang dijual oleh keluarganya untuk dijadikan pelacur. Dia terkesan juga oleh cerita Sadisah yang menjadi buruh di Tanggerang dan tinggal dibedeng-bedeng kumuh yang ketika Lebaran enggan pulang ke dusun karena tidak membawa oleh-oleh bagi keluarganya yang mengira kalau bekerja di kota pasti akan pulang ke dusun sebagai orang kaya.
       Memang Bu, perempuan-perempuan banyak yang menderita. Menurut saya, itu karena mereka kurang pendidikan sehingga mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat dalam hidup ini. Kalau nanti bu Ari mau memulai sebuah usaha pendidikan untuk mereka, jangan segan-segan mengajak saya.”
Pada suatu hari, Ibu Mira datang ke rumah Ibu Ari. Dia menyerahkan uang satu juta dengan meninggalkan pesan, “bu, ini syukuran, si Nita baru saja luus, silahkan dijadikan modal buat pendidikan anak-anak perempuan....siapa tahu dapat mengurangi jumlah mereka yang harus jadi buruh murah....”
       Bu Ari tercengang. Dua bulan kemudian, pada bulan agustus dia telepon ke rumah Bu Mira, untuk mengajaknya mengikuti seminar tentang perempuan. Tetapi jawaban dari ujung sana membuatnya merasa sendirian lagi. Selama sebulan Bu Mira akan pergi ke luar negeri, ke Amerika dan pulangnya lewat Eropa.  Dia mau mengambil program S2 di Wasington University.
       Untuk  beberapa lama bu Ari merasa sendiri. Dia mau memulai sesuatu. Tetapi masih ad hal yang kurang. Dia harus mempunyai sebuah komunitas. Pada suatu hari di sebuah pesta nikah, dia ditemui oleh Anas bekas muridnya yang menjadi Sarjana Hukum dan aktif di gerakan perempuan. ‘Ya, Bu, tentu kami senang kalau ibu mau bergabung bersama kami, kami punya banyak program penyadaran. Orang-orang kami tinggal bersama perempuan-perempuan yang menjadi korban struktur budaya, sosial, ekonomi dan politik. Kami tulis keadaan mereka, kami ajak melihat sebab-sebabnya. Kami juga mempunyai bagian publiksi yang menyiarkan sebanyak mungkin penderitaan perempuan. Kami mencita-citakan sebuah kesetaraan. Juga, ada bagian Advokasi hukum. Salah satu penderitaan perempuan di negeri ini karena banyak rumusan hukum yang tidak adil. Kami ingin ubah itu bersama-sama. Kami juga membuat jaringan global karena dalam perjuangan ini kami tidak sendirian; seluruh dunia menderita karena perempuan menderita....”

Diskusi
Peserta dibagi dalam kelompok dan diberikan pertanyaa penuntun :
a.       Keprihatinan ibu Ari mengenai perempuan mendapat tanggapan. Dalam tuturan ini ada tiga ibu ; Ibu Susanto, Ibu Mira dan Ibu Anas. Dari ketiga tanggapan itu, Anda tertarik pada tanggapan mana/ Silahkan memilih salah satu saja. Mengapa anda berpendapat bahwa tanggapan orang yang Anda pilih itu adalah yang baik?
b.      Saya anggap tanggapan ibu .....adalah tanggapan yan pling baik karena .....................
c.       Saya tidak mengganggap tanggapan ibu ....sebagai tanggapan yang terbaik karena ...............................
d.      Tanggapan dari lingkungan saya kebanyakan dekat dengan tanggapan saya.................... dengan contoh .......

6.       Kelompok Masuk dalam pleno
Peserta diminta untuk memilih dari ketiga kekuatan ibu-ibu itu. Bagaimana kekuatan nilai yang dipilih itu mau dikembangkan.

7.       Perluasan pandangan dan Refleksi
Pemandu :
Kalau masing-masing kelompok dengan alasannya memilih kekuatan-kekuatan yang ada pada ketiga ibu tersebut, ya... pasti ada segi positifnya dan negatifnya juga. Kita tidak melihat mana yang benar dan mana yang salah, tetapi mau meliaht nilai atau kekuatan yang harus dikembangkan demi mengatasi permasalahan gender sehingga baik laki-laki maupun perempuan dapat menghayati hidupnya sesuai dengan kepribadiannya.
Gereja dalam Gaudium et Spes 8 mengatakan ,”Adapun dalam kehidupan keluarga muncullah berbagai ketidakserasian, baik dengan kondisi kependudukan, ekonomi dan sosial, yang serba mendesak, maupun karena kesulitan-kesulitan yang timbul antara angkatan-angkatan yang beruntun atau pun juga karena hubungan-hubungan sosial yang baru antara laki-laki dan perempuan.”
Dengan ini Gereja juga melihat adanya ketidakserasian dalam relasi laki-laki dan perempuan akibat perjalanan waktu dan perkembangan relasi dalam bidang ekonomi, kebudayaan dan sosial. Dalam GS 9 dinyatakan, “ Kaum perempuan menuntut kesamaam dengan kaum laki-laki berdasarkan hukum maupun di dalam kenyataan, bila kesamaan itu belum mereka peroleh’.
Dengan ini Gereja juga menghendaki kesamaan laki-laki dan perempuan sesuai dengan keberadaan masing-masing.
Sebab itu GS 60 jelas-jelas melihat bahwa sudah waktunya kesamaan harus diwujudkan dalam : “karena sekarang terbuka peluang untuk membebaskan jumlah orang yang amat besar dari bncana kebodohan, maka merupakan kewajiban yang cocok sekali denagn jaman sekarang, terutama bagi umat kristen, untuk dengan tekun berupaya supaya di bidang ekonomi maupun politik pda tingkat nasional maupun tingkat internasional diambil keputusan-keputusan fundamental agar dimanapun juga diakui dn diwujudkan secara nyata hak semua orang atas kebudayaan manusiawi, soal, selaras dan martabat pribadi, tanpa membeda-bedakan suku, laki-laki dan perempuan, bangsa, agama atau kondisi sosial.....”
Di Indonesia, himbauan Gereja ini perlu juga diperhatikan bersama karena permasalahan perempua cukup memprihatinkan. Kalau kita kembali melihat refleksi dan sharing-sharing pengalaman sesama di atas....lalu bagaimana sikap kita pada masa mendatang, apakah yang mau kita laksanakan sebagai tanggapan atas himbauan Gereja dalam situasi kita ini?

8.       Tindakan ke Masa Depan
a.       Menanggapi segala kekerasan dengan cara bijaksana. Ini harus dimulai dari diri sendiri.
b.      Membina saat-saat kebersamaan, seperti makan bersama, rekreasi bersama, doa bersama (baik di dalam komunitas dan di dalam keluarga)
c.       Mengubah hubungan-hubungan negatif seperti perbudakan, majikan-buruh dengan hubungan positif seperti persaudaraan, rekan kerja, baik di tempat kerja, di sekolah, di rumah dengan anak, pembantu, serta tetangga.
d.      Perjuangan disesuaikan dengan kesadaran dan ketabahan
e.      Perlu dialog dan pembicaraan bersama dalam menghdapi persoalan dan masalah, baik di dalam keluarg maupun di dalm komunitas.

9.       Penutup
Doa spontan oleh peserta, kemudian disatukan dengan doa Bapa Kami dan diakhiri dengan lagu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar